Pages

Kamis, 21 Mei 2020

Kau Humairahku

Ntah apa yang merasuki Istriku, sehingga dia ingin mengasih nama panggilan bayinya Sukirman atau Sukirna. Tetapi, aku sih oh aja!
“Kenapa sih, nama bayinya gak keren?” tanyaku.
“Iri? Bilang bos!” ketusnya.
“Astaghfirullah!” Aku mengusap wajah dengan kasar.
“Tumben, istigfar?” ejeknya.
“Aku! Jadi ... Duta sampo lain? Hahaha! Dulu pernah, pengen punya bini waras. Tetapi, itu dulu sekarang malah punya bini absurd!” ketusku.
“Kamu ngomong?” tanyanya polos.
“Ku menangis ... Membayangkan, betapa polosnya Istriku yang satu ini.”
“Bilang apa tadi? Istriku, yang satu ini? Emangnya Istri kamu, ada berapa hah?!” tanyanya sambil melotot.
“Istri aku, cuman Humairah seorang suer,” jawabku cengengesan.
Diapun manggut-manggut, sambil melangkah menuju kamar mungkin. Aku hanya mengikutinya, dari belakang.
“Mas, coba kesini sebentar,” ucapnya.
“Ada apa, sayang?“ tanyaku.
“Ambilin aku, kerudung segiempat dong.”
Aku langsung mengambil kerudung, berwarna merah muda miliknya.
“Buat apa sih, beginian?” tanyaku bingung padahal dia sudah memakai kerudung dan cadarnya.
“Aku mau dandanin, Mas Fadlan. Biar couple gitu, sama aku hehe,” jawabnya.
“What?!” teriakku.
“Ish, jangan teriak-teriak Mas! Cepetan kesini!” perintahnya.
Akhirnya akupun menurut, dari pada kena amukan betina 'kan serem.
Diapun mengambil peralatan make-up miliknya, kemudian dia memoles ntah apa itu aku juga gak tahu.
“Nah terakhir, Mas Fadlan, harus pakai ini!” perintahnya lagi sambil mengeluarkan lipstik pink.
“Terserah!” ketusku pasrah.
Sedangkan Istriku? Dia terus memoles semua make-up dipipi, dialis dan terakhir dibibir sexi milikku.
Setelah puas memoles, Istriku langsung memakaikan kepalaku jilbab merah mudanya. Akupun hanya pasrah! Demi kamu, apapun akan aku lakukan eak!
“Selesai,” ucapnya tersenyum dibalik cadar hitamnya.
“Gerah!”
Ingin sekali, aku melepaskannya tetapi dia mencegah perbuatanku.
“Jangan, dilepas Mas!” rengeknya.
Aku mengangguk. Sementara Istriku, dia hanya terkekeh geli melihatku begini.
“Sekarang, Mas Fadlan, ngaca!”
Akupun mengikuti keinginannya, ketika aku melihat diriku dikaca. Allahuakbar! Aku cute banget.
“KYAA! KENAPA, MUKA TAMPANKU MENJADI CANTIK? YA ALLAH, HUMAIRAH!” teriakku.
Istriku tertawa dengan keras. Sedangkan aku, hanya mendengus kesal. Bagaimana tidak kesal? Muka gantengku, berubah menjadi cantik!
'Harga diri, gue!' batinku menjerit.
Duh bang Fadlan

Parafrasa Puisi dan cerpen karyane Mas Anton


Parafrasa Puisi dan Cerpen karya Lesbianton
Oleh: Arizza Nanda Fadhilla
A.    Parafrasa Puisi menjadi Pantun
1.      Satu kata
Nampaklah indah bumi pertiwiku
Tak cukup tahu sekedar dari buku
Marilah bicara bersamaku
Kenali diriku jangan sekedar namaku
2.      Dibalik kejadian yang nyata
Rimbunnya hutan tak rupa lahan
Lahan di babat rakus di ganyam
Bila kau ingin mengingat Tuhan
Bukalah mata pandanglah alam
3.      Terlepas dari kesalahannya
Tak ada sukses tanpa terjal
Terjal perjalanan sebagai ukur
Wahai kalian manusia berakal
Sudahkan kalian semua bersyukur?
4.      Tuhan
Tiada nikmat yang tak semu
Melainkan nikmat terbesar dengan bertemu
Izinkan aku merasakan nikmat terbesar-Mu
Yaitu dapat bertemu dengan Dzat-Mu
5.      Tuhan
Tiada pohon tanpa akar
Tiada sampah tanpa lalat
Izinkan aku hidup liar
Tanpa aturan yang mengikat
6.      Tuhan
Saudagar datang hendaklah di jamu
Siapkan mangga beserta duku
Begitu banyak nikmat dari-Mu
Mana sisa yang kau berikan untukku
7.      Tuhan
Bahagia hanyalah bayangan
Bayangan indah yang menipu
Jika kerinduan jaraknya kematian
Cabut nyawaku, obati rinduku

B.     Parafrasa Cerpen menjadi Puisi
1.      Harian Budaya Blora
Pagi ini mentari tersenyum indah
Mengisyaratkan sebuah kabar gembira
Begitu juga langit seakan bernyanyi indah
Di iringi tarian dari gumpalan awan
Sungguh hari yang sangat bersahabat

Kendang mulai di pukul
Pinggul mulai di goyang
Suasana riuh penuh kesenangan

Akan tetapi sekejap awan hitam menutup hari itu
Langit-langit tak kuasa menumpahkan air matanya
Ya semua kecewa
Akan tetapi masih masih dapat kita sembunyikan luka
Bersama tangis ceria hari itu

2.      Dalang Nasional
Mimpi tak sekedar memejamkan mata, melihat keindahan yang semua terasa terbias oleh bayang senja,
atau mungkin seperti melihat di balik jendela dengan sebuah lensa yang tertutup embun dan menutup pandangan mata.
Pemandangan jauh di depannya terasa hangat dengan selimut lembayung sutra , dengan edelweis  meski tak ada setangkai bunga pun di sana, hanya rerumputan yang menari iringi nyanyian alam tanpa ada gerakan.
Tidak! Lebih dari itu, mimpi adalah sebuah skenario semesta
yang mengukir  tentang sebuah cerita tanpa ada dusta di dalamnya.
Mengajarkan membuka mata, keluar dari dekapan kabut yang membelenggu indahnya senja.
3.      Barungan Blora 1
Negeri Ini
Di tengah purnama ia bermimpi
Menjadi sebatang ranting tua yang mengering
Yang rapuh tiada yang menatap
Semuanya berpaling
Yang tak mampu bertahan di saat hujan
Yang tak berdaya di jatuhkan angin
Yang tak bisa menolak menjuak dirinya untuk bumi
Yang terbakar saat senja mulai menyapa
Hanya satu akar yang dapat menopang
“Keberagaman”
4.      Barungan Blora 2
Sungguh bahagia negeri ini
Walaupun lapar tetap tertawa
Menutupi air mata dengan topeng yang mengerikan
Menyembunyikan cerita di balik tawa bahagia

Ya inilah negeriku
Dengan berbagai keragamannya
Dengan topeng seram serta badut badutnya
Yang tidak dapat di tebak siapa di balik semuanya

Cerita mengerikan yang mengundang kebahagiaan sudah biasa terdengar
Bahkan dengan iringan music serta tari-tarian
Tidak ada luka yang benar benar luka di negeriku

Negeri yang kaya
Dan bahagia

5.      Barungan Blora 3
Banyak sekali atraksi serta spekulasi dari para penari negeri ini
Rakyat hanya bisa menonton sembari mengamati apa yang sebenarnya terjadi
Laki-laki perempuan semuanya berkerumun
Menanti apa lagi yang akan di suguhkan oleh para penari

Apakah akan ada tangis lagi?
Atau bahkan bukan sekedar tangis
Bisa jadi mereka jadi korban ketidak tahuan

Hahaha
Negeriku


6.      Kutemukan Keragaman dalam Sahabat di Pramuka
Mentari sore hangat menyinari
Menyambut mengajakku menari
Angin melambai menarikku berlari
Bukit bukit tersenyum manis sekali
Bercengkrama tubuhku dengan langit
Membuatku lupa apa itu rasa sakit
Tersenyum bibirku dengan awan
Membuatku lupa bagaimana ditinggalkan

Kaki-kaki ku menari beraturan
Diatas hijau permadani rerumputan
Bersamaan kedua mata kepejamkan
Tak kusangka kekasihku hadir dengan senyuman
Ikut menari menambah alunan
Tanganku tak kuasa memeluknya
Bibirku berkata ‘’aku jatuh cinta’’
‘’aku jatuh cinta’’ ‘’aku….jatuh cinta’’
Mataku terbuka,air mataku leleh dengan hebatnya
Butir kelapa ini membawa mimpi ke depan mata

Kupu Kupu Malam

“Terserah kamu mau bayar berapa. Tapi di atas dua ratus ribu. Aku butuh uang!” Suara tegas dari sosok Lana, membuat pria yang ada di depannya tertawa.
“Haha. Bisa kurang?”
Lana menatap tajam pria berkulit sawo matang itu.
“Aku menemanimu tiga jam. Tolong jangan bercanda. Aku sangat butuh uang!” sanggah Lana penuh emosi.
“Kamu sudah tidak perawan. Berarti bayarnya pun dikurangi.” Pria itu mengeluarkan lembar lima puluh ribu dari saku bajunya.
Amarah Lana memuncak. “Itu bukan urusanmu. Sesuai perjanjian, kamu harus bayar sekarang!” bentak Lana lantang.
“Baiklah. Ini ...!” Tiga lembar merah mendarat ke wajah Lana. Gadis itu tersenyum, memungut lembar itu dengan bahagia.
Lana, si gadis cantik yang masih berumur enam belas tahun. Di usia yang masih belia ia nekat menjadi kupu-kupu malam demi menjemput pundi rupiah. Bukan karena kemauan, tetapi karena paksaan dari seorang bibi yang begitu keras memperlakukan hidupnya. Menangis, itulah yang bisa ia lakukan ketika menyendiri di kamar. Namun, karena sudah terbiasa, gadis itu merasa aman dengan pekerjaan yang digelutinya sejak delapan bulan silam.
“Lana, Sayang ....” Suara sang Bibi mengagetkan Lana yang hendak masuk ke kamar setelah lelah pulang dari tempat kerjanya setiap malam. Lana menghembus napas pelan. Wanita berumur empat puluh tahunan itu menggandeng sebuah tas ukuran sedang di tangan kirinya.
“Apa itu?” tanya Lana spontan.
“Ini hadiah dari Om Verdi untukmu ... sebagai ucapan terima kasih.”
Lana menerima tas itu dengan gembira. Ia cepat-cepat membukanya. Ada jam tangan, kacamata, dan setengah lusin baju setengah jadi.
“Makasih, Bi ....” Lana memeluk erat wanita itu dengan penuh gembira. Senyum licik seorang Bibi pun tenggelam di bahu milik Lana.
“Mana uangnya?” Mata sang Bibi melebar saat melihat lembar merah dari tangan keponakannya.
Matahari telah menampakkan wujudnya. Sosok Lana masih tertidur di kasur empuknya. Sudah dua tahun lebih ia tinggal bersama sang bibi setelah orang tuanya meninggal dunia. Ia hanya tamatan SMP.
Sosok bibi—yang kerap disapa Jummi oleh warga sekitar. Wanita itu memiliki watak misterius. Dia hanya berpikir uang dan uang tanpa memikirkan nasib remaja enam belas tahun itu, yang tak lain keponakannya sendiri.
“Lana, bangun!” Sang Bibi berteriak dari ruang tamu, membuat gadis itu terperanjat.
“I-iya, Bi.” Lana bangkit membuka pintu kamar.
“Ayo kita ke mall, berbelanja sepuasnya. Kamu mandi sana ....” Jummi berkata dengan senyum khasnya.
Lana terdiam, lalu ia berucap, “Tapi aku belum makan, Bi.”
“Aduh kamu. Kita makan di luar atuh!”
“Oh, baiklah. Aku mandi dulu.”
“Iya, jangan lama-lama.”
Lana mengangguk, lalu bergegas ke kamar mandi.
Sayup-sayup terdengar percakapan di ruang tamu. Sosok Lana menguping pembicaraan mereka, tak lain Jummi—si bibi yang sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon genggam. Speaker diperbesar, entah ia ingin memancing Lana atau ia lupa jika sang keponakan sedang berada di kamar mandi.
“Bibi ... Bibi jahat!” teriak Lana dari dalam.
Sang Bibi tertegun, langsung mengakhiri teleponnya dengan orang di seberang.
“Lana, kamu di sini numpang. Beruntung kukasih makan. Coba kamu pulang ke saudara Ibumu di Surakarta, kamu harus jual lontong di sana ... sedang di sini kamu nggak capek sama sekali. Bersyukurlah Lana!” sanggah Jummi sedikit mengeraskan suaranya.
Lana keluar dari kamar mandi. Dia terdiam. Terlihat jelas, buliran bening jatuh dipelupuk matanya.
“Sana pakek baju. Kita makan di luar.” Lana mengangguk, menelan perih di hati.

Aku

Kalian tahu siapa aku? Hem pasti jawabnya tak. Iya, 'kan? Ya iyalah. Eh, kok aku nanya ini ya? Ups, dah abaikan je. Ini hanya sesuatu yang konyol, mungkin dan tak perlu jawaban.
Hanya pengantar cerita biar kagak garing.
Akan tetapi, terkadang aku juga bisa nangis juga loh? Ya aku ini, 'kan hanya manusia biasa dan masih sama seperti kalian semua. Punya hati dan perasaan. Entahlah, aku di mata kalian seperti apa.
Jika ada yang salah di diriku ini, maafkanlah. Karena aku pun terkadang tak tahu, dengan diriku sendiri. Tapi, seperti inilah aku.
Tidak bisa berpura-puraa untuk menjadi diri orang lain. Sebab jika itu terjadi, maka semua pasti berbeda.
Jujur mencari sahabat ini yang kuinginkan, bukan mencari musuh. Namun, jangan pernah menyakiti hati ini dengan perkataan.
Karena perkataan yang menyakitkan, mungkin akan tertinggal di benak ini. Beda dengan pukulan, yang mungkin pada saat itu akan hilang tak meninggalkan bekas.
Aku pribadi mudah berteman dengan siapa pun, selama mereka tak menyakiti atau mengecewakan. Karena aku pun tak ingin berbuat seperti itu.
"Kak, kok ngelamun? Lagi mikir apaan?" Lia adikku seketika membuyarkan lamunanku.
"Enggak papa, kok Dik," jawabku menghilangkan kecemasannya.
"Beneran, Akak nggak mikir sesuatu?" Lia seolah ingin mencari jawaban dari mata ini.
Sekali lagi aku menggeleng menghilangkan rasa khawatirnya. Ya, saat ini dialah yang bisa mengerti aku.
"Akak nggak bohong, 'kan?" Tatapnya tak berkedip.
Mendengar ucapan Lia, kembali aku terdiam. Entah, mengapa tiba-tiba ada perasaan sakit yang menyelimuti diri ini. Kurasakan mata ini seketika berembun sebuah buliran bening jatuh tanpa kuundang.
Aku tak tahu, apa penyebabnya. Ya, aku bukan robot yang tak memiliki perasaan, yang tak bisa merasakan kesedihan dan yang tak bisa merasakan yang namanya sakit.
Aku manusia biasa, yang pada kodratnya pasti bisa merasakan semuanya. Maafkan aku, jika menurutmu aku berubah. Tapi, sebenarnya tidak. Mungkin hanya butuh proses untuk bisa mengembalikan semuanya.
"Akak, Lia tahu akak seperti apa. Jadi, nggak bisa nyembunyiin ini dari Lia," jawabnya menatapku.
"Dik, tak pe. Akak hanya ingin ..." Ucapanku terjedah beberapa saat lamanya.
Semua kejadian ini terputar ulang di memoriku, bulir air mata ini pun jatuh tanpa kuundang. Yang kusesali, mengapa ini harus terjadi?
Maaf, bukannya aku cuek, nggak seperti dulu lagi. Tapi, inilah aku yang tak bisa berpura-pura. Mungkin jika aku tertawa, ini hanya ingin menutup kesedihan di hati ini.
Selebihnya, aku tak bisa menutupinya. Biarlah waktu yang akan mengembalikannya. Maaf jika menurut kamu, aku berubah.
"Ish, Akak mah gitu! Ngegantung lagi. Kebiasaan, buruk dipelihara," oceh Lia menatapku.
"Haah? Akak nggak bawa tali, loh? Kok ngomong akak ngegantung kamu, dik?" Aku mencoba untuk bercanda di hadapannya.
"Bukan, gitu Akak." Lia sedikit protes.
"Terus, gimana maksudnya, Dik?" Sembari tersenyum aku balik menatap Lia.
"Ish, Akak berlagak bloon, lagi," oceh Lia melihatku.
"Hihihi." Sesaat kulupakan kesedihan yang sempat kurasakan.
Sementara Lia hanya bengong melihatku, "Sudahlah, Dik. Makasih dah buat Akak tersenyum," balasku mencubit pipinya dan kabur dari hadapan Lia.
"Akak! Awas, ya!" Lia mengejarku sampai keluar.
"Hihihihi!" Sontak aku tertawa cekikikan.
"Akak mah seperti Mbak Kunti kalau lagi tertawa, nyeremin."
Mendengar ucapan Lia aku kembali nyengir.
"Makasih dik, kamulah satu-satunya yang bisa buat akak bahagia dan tersenyum. Semoga tak ada lagi kesedihan di hati ini."
Ya, inilah diriku yang apa adanya dan sampai kapan pun akan seperti ini. Takkan berubah walau hanya sedetik.