Kalian tahu siapa aku? Hem pasti jawabnya tak. Iya, 'kan? Ya iyalah. Eh, kok aku nanya ini ya? Ups, dah abaikan je. Ini hanya sesuatu yang konyol, mungkin dan tak perlu jawaban.
Hanya pengantar cerita biar kagak garing.
Akan tetapi, terkadang aku juga bisa nangis juga loh? Ya aku ini, 'kan hanya manusia biasa dan masih sama seperti kalian semua. Punya hati dan perasaan. Entahlah, aku di mata kalian seperti apa.
Akan tetapi, terkadang aku juga bisa nangis juga loh? Ya aku ini, 'kan hanya manusia biasa dan masih sama seperti kalian semua. Punya hati dan perasaan. Entahlah, aku di mata kalian seperti apa.
Jika ada yang salah di diriku ini, maafkanlah. Karena aku pun terkadang tak tahu, dengan diriku sendiri. Tapi, seperti inilah aku.
Tidak bisa berpura-puraa untuk menjadi diri orang lain. Sebab jika itu terjadi, maka semua pasti berbeda.
Jujur mencari sahabat ini yang kuinginkan, bukan mencari musuh. Namun, jangan pernah menyakiti hati ini dengan perkataan.
Karena perkataan yang menyakitkan, mungkin akan tertinggal di benak ini. Beda dengan pukulan, yang mungkin pada saat itu akan hilang tak meninggalkan bekas.
Aku pribadi mudah berteman dengan siapa pun, selama mereka tak menyakiti atau mengecewakan. Karena aku pun tak ingin berbuat seperti itu.
"Kak, kok ngelamun? Lagi mikir apaan?" Lia adikku seketika membuyarkan lamunanku.
"Enggak papa, kok Dik," jawabku menghilangkan kecemasannya.
"Beneran, Akak nggak mikir sesuatu?" Lia seolah ingin mencari jawaban dari mata ini.
Sekali lagi aku menggeleng menghilangkan rasa khawatirnya. Ya, saat ini dialah yang bisa mengerti aku.
"Akak nggak bohong, 'kan?" Tatapnya tak berkedip.
Mendengar ucapan Lia, kembali aku terdiam. Entah, mengapa tiba-tiba ada perasaan sakit yang menyelimuti diri ini. Kurasakan mata ini seketika berembun sebuah buliran bening jatuh tanpa kuundang.
Aku tak tahu, apa penyebabnya. Ya, aku bukan robot yang tak memiliki perasaan, yang tak bisa merasakan kesedihan dan yang tak bisa merasakan yang namanya sakit.
Aku manusia biasa, yang pada kodratnya pasti bisa merasakan semuanya. Maafkan aku, jika menurutmu aku berubah. Tapi, sebenarnya tidak. Mungkin hanya butuh proses untuk bisa mengembalikan semuanya.
"Akak, Lia tahu akak seperti apa. Jadi, nggak bisa nyembunyiin ini dari Lia," jawabnya menatapku.
"Dik, tak pe. Akak hanya ingin ..." Ucapanku terjedah beberapa saat lamanya.
Semua kejadian ini terputar ulang di memoriku, bulir air mata ini pun jatuh tanpa kuundang. Yang kusesali, mengapa ini harus terjadi?
Maaf, bukannya aku cuek, nggak seperti dulu lagi. Tapi, inilah aku yang tak bisa berpura-pura. Mungkin jika aku tertawa, ini hanya ingin menutup kesedihan di hati ini.
Selebihnya, aku tak bisa menutupinya. Biarlah waktu yang akan mengembalikannya. Maaf jika menurut kamu, aku berubah.
"Ish, Akak mah gitu! Ngegantung lagi. Kebiasaan, buruk dipelihara," oceh Lia menatapku.
"Haah? Akak nggak bawa tali, loh? Kok ngomong akak ngegantung kamu, dik?" Aku mencoba untuk bercanda di hadapannya.
"Bukan, gitu Akak." Lia sedikit protes.
"Terus, gimana maksudnya, Dik?" Sembari tersenyum aku balik menatap Lia.
"Ish, Akak berlagak bloon, lagi," oceh Lia melihatku.
"Hihihi." Sesaat kulupakan kesedihan yang sempat kurasakan.
Sementara Lia hanya bengong melihatku, "Sudahlah, Dik. Makasih dah buat Akak tersenyum," balasku mencubit pipinya dan kabur dari hadapan Lia.
"Akak! Awas, ya!" Lia mengejarku sampai keluar.
"Hihihihi!" Sontak aku tertawa cekikikan.
"Akak mah seperti Mbak Kunti kalau lagi tertawa, nyeremin."
Mendengar ucapan Lia aku kembali nyengir.
"Makasih dik, kamulah satu-satunya yang bisa buat akak bahagia dan tersenyum. Semoga tak ada lagi kesedihan di hati ini."
Ya, inilah diriku yang apa adanya dan sampai kapan pun akan seperti ini. Takkan berubah walau hanya sedetik.
0 komentar:
Posting Komentar