Pages

Senin, 27 April 2020

Salah

Aku berjalan menikmati segarnya udara pagi, melewati jalan setapak yang di sisi kanan dan kirinya masih berupa hamparan sawah yang luas. Nampak di selatan gunung-gunung yang masih tertutup kabut, berjejeran.
“Selamat pagi, Lek Ndang, sampun gasik lek (sudah tiba lebih awal).” Aku sedikit membungkuk menyapa Lek Ndang yang sedang memetik timun.
“Ya, nek orak gasik, selak tutup pasare (kalau tidak lebih awal, keburu tutup pasarnya).” Lek Ndang memasukkan timun ke dalam karung dan beberapa dimasukkannya ke dalam Kantong keresek.
“Ki Nduk, nek meh gawe rujakan (ini Nak, kalau mau dibuat rujak).” Lek Ndang, menyerahkan kantong keresek yang berisi timun kepadaku.
“Mboten sah Lek, matur suwun (tidak usah Lek, terima kasih).” Karena merasa sungkan aku menolaknya.
“Orag opo-opo, wes gowo gawe rujakan (tidak apa-apa, bawa saja buat rujakan).” Lek Ndang memberikan kantong keresek kepadaku.
“Matur suwun, ya Lek (terima kasih, ya Lek).” Aku menerima kantong keresek sambil sedikit membungkuk.
Hidup di desa memang lebih menyenangkan selain udara dan lingkungannya masih asri, silaturahmi antar masyarakat juga masih terjalin dengan baik.
Lima puluh meter berjalan aku melihat, Karyo suami adikku, berjalan bersama seorang wanita.
"Karyo." Aku mendekatinya.
"Mbak?" Seketika Karyo menoleh ke belakang dan terkejut melihatku. Nampak di wajahnya keringat dingin bercucuran.
"Siapa wanita ini Karyo?, tega kamu sudah menduakan Amira." Aku menunjuk wanita di samping Karyo.
"Mbak, dengar dulu penjelasan saya." Karyo mendekatiku. Aku tidak peduli, berlalu meninggalkannya untuk menemui Amira, adikku. Memberitahunya tentang apa yang diperbuat Karyo di belakangnya.
“Assalamualaikum, Mir ... Mira ...” Aku mengetuk pintu rumah Amira, seraya berteriak memanggilnya.
“Wa’allaikum salam, ada apa mbak kok pagi-pagi sudah teriak-teriak?” Mira keluar membuka pintu.
“Suamimu Mir ... Suamimu!” Karena lelah berjalan cepat nafasku terengah-engah.
“Emang, ada apa dengan mas Karyo mbak?” Amira yang masih berdiri di pintu penasaran.
“Suamimu lo Mir, mlaku karo cewek neng dalan tegah sawah kono (suamimu Mir, jalan sama perempuan di jalan tengah sawah di sana).” Aku menunjuk ke arah selatan.
“Mbak mu ki lo Mir, heboh banget, weroh bojomu ki mlaku mbek cewek. Orak takok ndisek sopo cewek iki (kakakmu itu lo Mir, heboh banget, lihat suamimu jalan sama perempuan. Tidak tanya dulu siapa perempuan ini).” Karyo menunjuk perempuan muda yang ada di sampingnya. Dia ternyata menyusulku di belakang.
“Arep tak jelaske zo malah salah sangka ndisek, lansung mlaku rene, arep wadul awakmu (mau tak jelaskan dia langsung jalan kesini , mengadu sama kamu),” Karyo menjelaskan. Amira hanya terkikik sambil melihatku.
“Lo Mir, kok malah ketawa?” Aku bingung apa yang sebenarnya terjadi.
“Mbak, ini Nisa, sepupunya mas Karyo. Nisa sama ibunya menginap di sini semalam. Duduk dulu mbak.” Amira mengajakku duduk di kursi ruang tamu.
“Iya Nduk, Nisa ini anak Bu Lek, Bu Lek, adiknya Ibu dari Karyo.” Seorang perempuan berusia sekitar enam puluh tahunan keluar dari dalam. Aku hanya tersenyum malu, sudah salah sangka sama Karyo.

0 komentar:

Posting Komentar