Sahur kali ini terasa lebih menyedihkan dibandingkan tahun sebelumnya. Biasanya masih bisa menikmati sepiring nasi panas, telor dadar dan sayur bening ditemani segelas teh manis hangat.
Masih ada sisa mie instant yang diberikan warga sekitar kontrakan rumah untuk dijadikan menu makan sahur pagi ini.
Kulihat di bungkusan plastik hitam, sisa 2 bungkus mie instant. Beras sudah tak ada, apalagi telor. Untungnya aku hanya tinggal sendiri di kota yang katanya mudah meraih sukses ini.
Setelah membaca doa niat puasa, aku meneguk air hangat. Mie instant tak jadi kumasak, lebih baik buat nanti menu berbuka puasa.
Baru saja hendak sikat gigi, terdengar ketukan pintu.
"Assalamualaikum, Mas Ipul ..." kata suara yang tak asing di telingaku.
"Wa'alaikumsalam ..." Segera aku membuka pintu kontrakan.
"Eh Bu Nova, ada apa?" tanyaku pada ibu kontrakan.
"Sudah makan sahur belum, Mas?"
"Sudah, Bu." Bukannya aku berbohong, tapi memang niatku sudah cukup untuk melakukan puasa.
"Sahur pake apa, Mas Ipul? Nggak ada kompor gitu, kok!"
"Masak pakai magicom, Bu. Masak air. Yang penting niatnya," jawabku sopan.
"Jangan begitu, saya merasa sedih kalau saudara sesama muslim harus sahur dengan air minum saja, sementara saya makan enak ..." ucap Bu Nova.
"Maaf Bu, saya juga belum bisa bayar kontrakan untuk bulan ini, jualan saya lagi sepi ... ini saja saya mau kirim uang ke istri masih mikir dua kali."
"Jangan berpikir begitu, Mas Ipul. Uang kontrakan bulan ini sama bulan depan gak usah dibayarkan. Anggap saya membantu Mas Ipul dengan cara ini."
"Alhamdulillah, terima kasih banyak, Bu. Saya seperti punya saudara di perantauan, apalagi ibu dan bapak sangat baik terhadap saya."
Bu Nova dan suaminya memperlakukan aku seperti saudara sendiri. Mungkin karena mereka juga perantau, jadi memposisikan diri jika menjadi aku.
"Iya, sama-sama. Oh iya, ini dimakan untuk sahur, mumpung belum imsak," ucapnya sembari menyerahkan kotak makan berisi nasi dan semur daging.
"Makasih, Bu. Biar Allah yang membalas kebaikan ibu dan keluarga."
"Aamiin ... ya sudah saya permisi dulu, mau sholat subuh berjamaah di rumah. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Kupandangi kotak makan itu, air mata pun mengalir di pipi. Kutelepon istri di kampung, berharap mendengar kabar mereka yang baik-baik saja di sana.
"Hallo, Bun. Assalamualaikum ..."
"Wa'alaikumsalam, Ayah. Apa kabarnya? Sudah makan sahur, belum?" tanya istriku, ada rasa khawatir di sana.
"Sudah, Bun. Bunda dan anak-anak sudah makan sahur?"
"Alhamdulillah, sudah. Ini Hilmi lagi belajar mulai puasa penuh, Ayah gimana kabarnya? Kok kurusan?" tanya istriku, Aisyah.
"Kabar ayah baik, Bun. Cuma jualan lagi sepi!"
"Balik aja ke kampung, Ayah. Daripada susah di sana. Di sini kita bisa bertani. Masih bisa makan," sahutnya dengan mata berkaca-kaca.
"Nanti kalau situasi sudah kondusif, ayah akan pulang. Sementara sekarang Bunda baik-baik di sana sama anak-anak, ya?"
"Ya sudah kalau begitu, jaga kesehatan. Bunda kangen sama ayah." Aisyah terlihat menahan tangisnya.
"Iya, ayah juga kangen, Bunda. Insya Allah, kita pasti akan bertemu lagi dalam keadaan sehat." Aku berusaha tegar, sebenarnya hati ini sedih.
"Aamiin ... ayah jadi jualannya gimana?"
"Ayah jualan lewat online sementara, untung ibu kontrakan baik, membebaskan ayah untuk tidak bayar kontrakan untuk 2 bulan kedepan."
"Masya Allah, begitu baiknya pemilik kontrakan itu, Ayah."
"Iya, Bun. Tadi juga ayah dikirimkan makanan sahur."
"Alhamdulillah kalau begitu, Bunda sedikit tenang jadinya. Jangan lupa sholat subuh, ya?"
"Iya, Bunda. Oh iya, nanti ayah transfer uang. Gunakan sebaik mungkin, ya?"
"Nggak usah, pakai dulu aja untuk keperluan ayah di sana. Bunda masih ada simpanan hasil jahitan. Alhamdulillah, masih banyak yang order jahit. Malahan bunda niatnya mau kirim uang untuk ayah."
Begitulah Aisyah, selalu menerima kekurangan dan kelebihan ku sebagai suaminya.
Tak pernah mengeluh dengan apa yang kuberikan selama ini. Bersyukur aku memilikinya.
"Alhamdulillah, kalau begitu. Ya sudah, ayah mau sholat subuh dulu, salam untuk anak-anak."
Ini hari pertama aku puasa seorang diri di perantauan. Biasanya aku sudah berada di kampung bila puasa tiba.
Kini, di bulan Ramadhan yang bukan pertama kali untukku, aku harus ikhlas menjalaninya tanpa keluarga di sisiku.
Perjuangan belum berakhir, ini baru dimulai.
Aku akan terus semangat, sampai sinarNya datang membawa kebahagiaan untuk semua makhluk di bumi ini.
0 komentar:
Posting Komentar