“Terserah kamu mau bayar berapa. Tapi di atas dua ratus ribu. Aku butuh uang!” Suara tegas dari sosok Lana, membuat pria yang ada di depannya tertawa.
“Haha. Bisa kurang?”
Lana menatap tajam pria berkulit sawo matang itu.
Lana menatap tajam pria berkulit sawo matang itu.
“Aku menemanimu tiga jam. Tolong jangan bercanda. Aku sangat butuh uang!” sanggah Lana penuh emosi.
“Kamu sudah tidak perawan. Berarti bayarnya pun dikurangi.” Pria itu mengeluarkan lembar lima puluh ribu dari saku bajunya.
Amarah Lana memuncak. “Itu bukan urusanmu. Sesuai perjanjian, kamu harus bayar sekarang!” bentak Lana lantang.
“Baiklah. Ini ...!” Tiga lembar merah mendarat ke wajah Lana. Gadis itu tersenyum, memungut lembar itu dengan bahagia.
Lana, si gadis cantik yang masih berumur enam belas tahun. Di usia yang masih belia ia nekat menjadi kupu-kupu malam demi menjemput pundi rupiah. Bukan karena kemauan, tetapi karena paksaan dari seorang bibi yang begitu keras memperlakukan hidupnya. Menangis, itulah yang bisa ia lakukan ketika menyendiri di kamar. Namun, karena sudah terbiasa, gadis itu merasa aman dengan pekerjaan yang digelutinya sejak delapan bulan silam.
“Lana, Sayang ....” Suara sang Bibi mengagetkan Lana yang hendak masuk ke kamar setelah lelah pulang dari tempat kerjanya setiap malam. Lana menghembus napas pelan. Wanita berumur empat puluh tahunan itu menggandeng sebuah tas ukuran sedang di tangan kirinya.
“Apa itu?” tanya Lana spontan.
“Ini hadiah dari Om Verdi untukmu ... sebagai ucapan terima kasih.”
Lana menerima tas itu dengan gembira. Ia cepat-cepat membukanya. Ada jam tangan, kacamata, dan setengah lusin baju setengah jadi.
Lana menerima tas itu dengan gembira. Ia cepat-cepat membukanya. Ada jam tangan, kacamata, dan setengah lusin baju setengah jadi.
“Makasih, Bi ....” Lana memeluk erat wanita itu dengan penuh gembira. Senyum licik seorang Bibi pun tenggelam di bahu milik Lana.
“Mana uangnya?” Mata sang Bibi melebar saat melihat lembar merah dari tangan keponakannya.
Matahari telah menampakkan wujudnya. Sosok Lana masih tertidur di kasur empuknya. Sudah dua tahun lebih ia tinggal bersama sang bibi setelah orang tuanya meninggal dunia. Ia hanya tamatan SMP.
Sosok bibi—yang kerap disapa Jummi oleh warga sekitar. Wanita itu memiliki watak misterius. Dia hanya berpikir uang dan uang tanpa memikirkan nasib remaja enam belas tahun itu, yang tak lain keponakannya sendiri.
“Lana, bangun!” Sang Bibi berteriak dari ruang tamu, membuat gadis itu terperanjat.
“I-iya, Bi.” Lana bangkit membuka pintu kamar.
“Ayo kita ke mall, berbelanja sepuasnya. Kamu mandi sana ....” Jummi berkata dengan senyum khasnya.
Lana terdiam, lalu ia berucap, “Tapi aku belum makan, Bi.”
“Aduh kamu. Kita makan di luar atuh!”
“Oh, baiklah. Aku mandi dulu.”
“Iya, jangan lama-lama.”
Lana mengangguk, lalu bergegas ke kamar mandi.
Lana mengangguk, lalu bergegas ke kamar mandi.
Sayup-sayup terdengar percakapan di ruang tamu. Sosok Lana menguping pembicaraan mereka, tak lain Jummi—si bibi yang sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon genggam. Speaker diperbesar, entah ia ingin memancing Lana atau ia lupa jika sang keponakan sedang berada di kamar mandi.
“Bibi ... Bibi jahat!” teriak Lana dari dalam.
Sang Bibi tertegun, langsung mengakhiri teleponnya dengan orang di seberang.
“Lana, kamu di sini numpang. Beruntung kukasih makan. Coba kamu pulang ke saudara Ibumu di Surakarta, kamu harus jual lontong di sana ... sedang di sini kamu nggak capek sama sekali. Bersyukurlah Lana!” sanggah Jummi sedikit mengeraskan suaranya.
Lana keluar dari kamar mandi. Dia terdiam. Terlihat jelas, buliran bening jatuh dipelupuk matanya.
“Sana pakek baju. Kita makan di luar.” Lana mengangguk, menelan perih di hati.
0 komentar:
Posting Komentar