Pages

Senin, 27 April 2020

Salah

Aku berjalan menikmati segarnya udara pagi, melewati jalan setapak yang di sisi kanan dan kirinya masih berupa hamparan sawah yang luas. Nampak di selatan gunung-gunung yang masih tertutup kabut, berjejeran.
“Selamat pagi, Lek Ndang, sampun gasik lek (sudah tiba lebih awal).” Aku sedikit membungkuk menyapa Lek Ndang yang sedang memetik timun.
“Ya, nek orak gasik, selak tutup pasare (kalau tidak lebih awal, keburu tutup pasarnya).” Lek Ndang memasukkan timun ke dalam karung dan beberapa dimasukkannya ke dalam Kantong keresek.
“Ki Nduk, nek meh gawe rujakan (ini Nak, kalau mau dibuat rujak).” Lek Ndang, menyerahkan kantong keresek yang berisi timun kepadaku.
“Mboten sah Lek, matur suwun (tidak usah Lek, terima kasih).” Karena merasa sungkan aku menolaknya.
“Orag opo-opo, wes gowo gawe rujakan (tidak apa-apa, bawa saja buat rujakan).” Lek Ndang memberikan kantong keresek kepadaku.
“Matur suwun, ya Lek (terima kasih, ya Lek).” Aku menerima kantong keresek sambil sedikit membungkuk.
Hidup di desa memang lebih menyenangkan selain udara dan lingkungannya masih asri, silaturahmi antar masyarakat juga masih terjalin dengan baik.
Lima puluh meter berjalan aku melihat, Karyo suami adikku, berjalan bersama seorang wanita.
"Karyo." Aku mendekatinya.
"Mbak?" Seketika Karyo menoleh ke belakang dan terkejut melihatku. Nampak di wajahnya keringat dingin bercucuran.
"Siapa wanita ini Karyo?, tega kamu sudah menduakan Amira." Aku menunjuk wanita di samping Karyo.
"Mbak, dengar dulu penjelasan saya." Karyo mendekatiku. Aku tidak peduli, berlalu meninggalkannya untuk menemui Amira, adikku. Memberitahunya tentang apa yang diperbuat Karyo di belakangnya.
“Assalamualaikum, Mir ... Mira ...” Aku mengetuk pintu rumah Amira, seraya berteriak memanggilnya.
“Wa’allaikum salam, ada apa mbak kok pagi-pagi sudah teriak-teriak?” Mira keluar membuka pintu.
“Suamimu Mir ... Suamimu!” Karena lelah berjalan cepat nafasku terengah-engah.
“Emang, ada apa dengan mas Karyo mbak?” Amira yang masih berdiri di pintu penasaran.
“Suamimu lo Mir, mlaku karo cewek neng dalan tegah sawah kono (suamimu Mir, jalan sama perempuan di jalan tengah sawah di sana).” Aku menunjuk ke arah selatan.
“Mbak mu ki lo Mir, heboh banget, weroh bojomu ki mlaku mbek cewek. Orak takok ndisek sopo cewek iki (kakakmu itu lo Mir, heboh banget, lihat suamimu jalan sama perempuan. Tidak tanya dulu siapa perempuan ini).” Karyo menunjuk perempuan muda yang ada di sampingnya. Dia ternyata menyusulku di belakang.
“Arep tak jelaske zo malah salah sangka ndisek, lansung mlaku rene, arep wadul awakmu (mau tak jelaskan dia langsung jalan kesini , mengadu sama kamu),” Karyo menjelaskan. Amira hanya terkikik sambil melihatku.
“Lo Mir, kok malah ketawa?” Aku bingung apa yang sebenarnya terjadi.
“Mbak, ini Nisa, sepupunya mas Karyo. Nisa sama ibunya menginap di sini semalam. Duduk dulu mbak.” Amira mengajakku duduk di kursi ruang tamu.
“Iya Nduk, Nisa ini anak Bu Lek, Bu Lek, adiknya Ibu dari Karyo.” Seorang perempuan berusia sekitar enam puluh tahunan keluar dari dalam. Aku hanya tersenyum malu, sudah salah sangka sama Karyo.

Minggu, 26 April 2020

Pelangi Pasti Datang

Semenjak kecil, aku tak pernah mengenal cinta-kasih dari ayah dan bunda. Hidup terpisah, bukanlah keinginanku.
Siapa pun pasti tak akan menginginkannya. Jika, aku ingin meminta, kuharap ini tak terjadi pada diri ini.
Bu Neni, beliaulah yang selama ini merawat dan membesarkanku. Beliau begitu menyayangiku, aku pun sudah dianggap seperti anak kandungnya sendiri.
Kutatap potret di tanganku, menurut Bu Neni, ini adalah orang tuaku. Namun, tak tahu di mana keberadaan mereka saat ini.
"Kak Tiara," sahut Anin dan memelukku.
"Dek, kapan kamu ke sini?" Aku berbalik ke arah Anin.
"Baru saja, Kak," jawab Anin dan duduk dekatku.
"I--tu, potret orang tua, Kakak?" Anin menatapku manja.
"Iya, Dek. Menurut mama kamu, ini orang tua Kak Tiara," jawabku balas menatap Anin.
"Kok, Anin nggak pernah ketemu?" tanya Anin ke arahku.
"Jangankan kamu, Kak Tiara pun hanya melihat lewat potret ini, karena dari kecil sampai detik ini, Kakak nggak tahu keberadaan mereka berdua," jawabku pada Anin.
"Kak, ada aku, Kak Nila, juga mama dan papa yang akan menemani, Kak Tiara." Anin memelukku erat.
Tanpa terasa ada buliran bening yang berhasil lolos dan jatuh di pipiku.
"Makasih, Dek," balasku memeluk Anin.
Saat ini usiaku menginjak lima belas tahun dan selama itu pula, aku tak pernah bertemu dengan kedua orang tuaku. Namun, kasih-sayang dari Bu Neni dan Pak Ari, tak pernah berkurang.
Akan tetapi, keinginanku untuk mengetahui keberadaan mereka begitu besar. Meski hanya sebentar, aku ingin bertemu dengannya adalah harapanku yang semoga suatu hari akan terwujud.
Aku ingin memeluk beliau, melepaskan kerinduanku yang telah terpendam selama lima belas tahun. Tak ada yang salah, 'kan? Ini wajar, jika seorang anak ingin bertemu dengan orang tuanya.
Kembali menetes air mata di pipi ini, bersamaan dengan itu. Kulihat Bu Neni menghampiriku.
"Ada apa sayang?" Bu Neni memelukku erat dan menyeka air mataku.
Saat ini, hanya air mata yang berbicara. Mulut ini, seolah tak mampu untuk bercerita tentang apa yang kurasakan sekarang ini.
"Kamu rindu dengan mama dan papa kamu?" Tanpa sengaja Bu Neni melihat potret di tanganku.
Aku anggukan kepalaku dan kemarin kupeluk beliau dan aku tumpahkan segala kesedihan dalam hati ini.
"Iya, Bu. Saat ini, aku ingin bertemu dengan mama dan papa," sahutku ke arah beliau.
"Nak, bersabarlah. Saatnya akan tiba. InsyaAllah, suatu hari nanti keinginanmu akan terkabul," jawab beliau balas memelukku.
"Kapan, Bu?" tanyaku menatap beliau.
"Pasrahkan pada Allah dan berdo'alah." Kembali beliau memelukku.
'Semoga kelak Allah mempertemukanku.' Aku berbisik lirih.
"Kakak, jangan menangis lagi, ya." Anin pun memukku.
"Makasih, Dek." Aku pun balas memeluknya.
Seuntai cinta memadu sukma tak henti selamanya. Sampai kapan pun kau kutunggu, mama, papa kuingin bertemu dengan kalian. Inilah harapan terbesarku saat ini.
***
Hingga suatu hari sepasang suami-istri berkunjung ke rumah Bu Neni, rumah di mana aku dirawat dan dibesarkan.
Tanpa sengaja kudengarkan percakapannya dengan Bu Neni, ibu yang telah merawat dan memberiku kasih-sayangnya padaku.
Ternyata, salah satu dari mereka adalah adik kandung dari mamaku. Mendengar penjelasannya ada rasa kebahagiaan yang kurasa saat ini.
"Bu, apa kami boleh bertemu dengan anak Mbak Seruni?" Kudengar beliau meminta ijin pada Bu Neni.
"Boleh, kok Mbak." Bu Neni menjawab sedetik kemudian.
"Sayang, Tante ini adalah keluarga kamu." Bu Neni menjelaskan.
"Tante Sasa, adalah adik dari mama kamu." Beliau memelukku erat.
"Maksud Tante?" tanyaku sedikit bingung.
"Tante adalah adik dari mama kamu, sayang." Dia kembali memelukku.
"Mama? Tante, mama di mana? Mengapa, bukan mama yang menjemputku?" tanyaku dengan wajah pengharapan.
Sepintas kulihat Tante Sasa mengusap air matanya dan kembali memelukku erat. Dia tak mampu melanjutkan ucapannya dan menatapku lekat.
"Ada apa, Tante?" tanyaku tidak mengerti.
"Nak, kamu sudah besar?" Suami dari Tante Sasa pun memelukku.
"Mama dan papa, kapan ke sini? Aku tidak sabaran ingin bertemu dengannya." Aku menatap ke arah Tante Sasa.
Tante Sasa memelukku erat, "Nak, kamu yang sabar, ya?" Tatapnya ke arahku.
"A--pa, apa yang terjadi pada mama dan papa?" tanyaku dengan wajah cemas.
Kurasakan dadaku sesak, dan sebuah buliran bening jatuh tanpa kuundang.
"Kamu, harus sabar, Nak," ujarnya dan membelaiku lembut.
Kembali Tante Sasa terdiam beberapa saat lamanya.
Bu Neni datang dan menjelaskan semuanya, tentang apa yang terjadi pada mama dan papa.
"Sebelumnya, kamu harus sabar Nak, karena setahun yang lalu ... mama dan papa kamu, meninggal karena mengalami kecelakaan pesawat." Tatap Bu Neni ke arahku.
"Lalu, kenapa mama dan papa membuangku, Tante? Apa, beliau berdua tidak mengharapkan kkehadiran Tiara?" Aku protes ke arah Tante Sasa.
"Sayang, mama dan papa kamu ... bukannya tidak sayang dan membuangmu. Tetapi, waktu itu keadaannya, tidak memungkinkan. Maafkan, beliau berdua," ungkap Tante Sasa membelaiku.
"Kenapa, Tante? Apa alasannya," desakku ke Tante Sasa.
"Nak, suatu hari nanti. Engkau akan memahaminya, tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya. Termasuk, mama dan papa kamu. Tante ke sini, ingin menjemputmu dan tinggal bersama Tante, di rumah Tante." Tante Sasa menatapku.
Aku bingung memilih ikut bersama Tante Sasa, atau tinggal bersama Bu Neni di rumah ini.
"Tiara, Tante Sasa adalah orang tua kamu juga. Ikutlah bersama beliau. Ibu, tidak papa sayang. Jika kamu rindu, kamu bisa datang ke rumah ini kapan saja. Pintu rumah Ibu, terbuka 24 jam buat kamu, Nak." Bu Neni memelukku erat.
"Kak, jangan lupa dengan Anin, ya." Anin menghambur memukku.
"Sampai kapan, pun Kak Tiara nggak bakal lupain kamu," balasku memeluknya.
Ada rasa kebahagiaan bercampur rasa sedih yang kurasa. Meski aku tidak akan pernah bertemu dengan mama dan papa, setidaknya aku lega sudah dapat mengetahui kabar mama dan papa.
Sebuah buliran bening kembali jatuh di pipiku. Air mata yang entah keberapa kalinya terjatuh di pipi ini. Tetapi kali ini adalah air mata kebahagiaanku.
Tak ada lagi kesedihan yang kurasakan dalam hati ini, aku yakin setelah hujan akan ada pelangi yang memberiku kebahagiaan. Pelangi itu pasti akan datang.

Sabtu, 25 April 2020

Bukan Puasa Pertamaku

Sahur kali ini terasa lebih menyedihkan dibandingkan tahun sebelumnya. Biasanya masih bisa menikmati sepiring nasi panas, telor dadar dan sayur bening ditemani segelas teh manis hangat.
Masih ada sisa mie instant yang diberikan warga sekitar kontrakan rumah untuk dijadikan menu makan sahur pagi ini.
Kulihat di bungkusan plastik hitam, sisa 2 bungkus mie instant. Beras sudah tak ada, apalagi telor. Untungnya aku hanya tinggal sendiri di kota yang katanya mudah meraih sukses ini.
Setelah membaca doa niat puasa, aku meneguk air hangat. Mie instant tak jadi kumasak, lebih baik buat nanti menu berbuka puasa.
Baru saja hendak sikat gigi, terdengar ketukan pintu.
"Assalamualaikum, Mas Ipul ..." kata suara yang tak asing di telingaku.
"Wa'alaikumsalam ..." Segera aku membuka pintu kontrakan.
"Eh Bu Nova, ada apa?" tanyaku pada ibu kontrakan.
"Sudah makan sahur belum, Mas?"
"Sudah, Bu." Bukannya aku berbohong, tapi memang niatku sudah cukup untuk melakukan puasa.
"Sahur pake apa, Mas Ipul? Nggak ada kompor gitu, kok!"
"Masak pakai magicom, Bu. Masak air. Yang penting niatnya," jawabku sopan.
"Jangan begitu, saya merasa sedih kalau saudara sesama muslim harus sahur dengan air minum saja, sementara saya makan enak ..." ucap Bu Nova.
"Maaf Bu, saya juga belum bisa bayar kontrakan untuk bulan ini, jualan saya lagi sepi ... ini saja saya mau kirim uang ke istri masih mikir dua kali."
"Jangan berpikir begitu, Mas Ipul. Uang kontrakan bulan ini sama bulan depan gak usah dibayarkan. Anggap saya membantu Mas Ipul dengan cara ini."
"Alhamdulillah, terima kasih banyak, Bu. Saya seperti punya saudara di perantauan, apalagi ibu dan bapak sangat baik terhadap saya."
Bu Nova dan suaminya memperlakukan aku seperti saudara sendiri. Mungkin karena mereka juga perantau, jadi memposisikan diri jika menjadi aku.
"Iya, sama-sama. Oh iya, ini dimakan untuk sahur, mumpung belum imsak," ucapnya sembari menyerahkan kotak makan berisi nasi dan semur daging.
"Makasih, Bu. Biar Allah yang membalas kebaikan ibu dan keluarga."
"Aamiin ... ya sudah saya permisi dulu, mau sholat subuh berjamaah di rumah. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Kupandangi kotak makan itu, air mata pun mengalir di pipi. Kutelepon istri di kampung, berharap mendengar kabar mereka yang baik-baik saja di sana.
"Hallo, Bun. Assalamualaikum ..."
"Wa'alaikumsalam, Ayah. Apa kabarnya? Sudah makan sahur, belum?" tanya istriku, ada rasa khawatir di sana.
"Sudah, Bun. Bunda dan anak-anak sudah makan sahur?"
"Alhamdulillah, sudah. Ini Hilmi lagi belajar mulai puasa penuh, Ayah gimana kabarnya? Kok kurusan?" tanya istriku, Aisyah.
"Kabar ayah baik, Bun. Cuma jualan lagi sepi!"
"Balik aja ke kampung, Ayah. Daripada susah di sana. Di sini kita bisa bertani. Masih bisa makan," sahutnya dengan mata berkaca-kaca.
"Nanti kalau situasi sudah kondusif, ayah akan pulang. Sementara sekarang Bunda baik-baik di sana sama anak-anak, ya?"
"Ya sudah kalau begitu, jaga kesehatan. Bunda kangen sama ayah." Aisyah terlihat menahan tangisnya.
"Iya, ayah juga kangen, Bunda. Insya Allah, kita pasti akan bertemu lagi dalam keadaan sehat." Aku berusaha tegar, sebenarnya hati ini sedih.
"Aamiin ... ayah jadi jualannya gimana?"
"Ayah jualan lewat online sementara, untung ibu kontrakan baik, membebaskan ayah untuk tidak bayar kontrakan untuk 2 bulan kedepan."
"Masya Allah, begitu baiknya pemilik kontrakan itu, Ayah."
"Iya, Bun. Tadi juga ayah dikirimkan makanan sahur."
"Alhamdulillah kalau begitu, Bunda sedikit tenang jadinya. Jangan lupa sholat subuh, ya?"
"Iya, Bunda. Oh iya, nanti ayah transfer uang. Gunakan sebaik mungkin, ya?"
"Nggak usah, pakai dulu aja untuk keperluan ayah di sana. Bunda masih ada simpanan hasil jahitan. Alhamdulillah, masih banyak yang order jahit. Malahan bunda niatnya mau kirim uang untuk ayah."
Begitulah Aisyah, selalu menerima kekurangan dan kelebihan ku sebagai suaminya.
Tak pernah mengeluh dengan apa yang kuberikan selama ini. Bersyukur aku memilikinya.
"Alhamdulillah, kalau begitu. Ya sudah, ayah mau sholat subuh dulu, salam untuk anak-anak."
Ini hari pertama aku puasa seorang diri di perantauan. Biasanya aku sudah berada di kampung bila puasa tiba.
Kini, di bulan Ramadhan yang bukan pertama kali untukku, aku harus ikhlas menjalaninya tanpa keluarga di sisiku.
Perjuangan belum berakhir, ini baru dimulai.
Aku akan terus semangat, sampai sinarNya datang membawa kebahagiaan untuk semua makhluk di bumi ini.

Kamis, 23 April 2020

Persahabatan Kucing dan Tikus



Zaman dahulu kala, di sebuah lubang hitam di sudut pasar tinggallah seekor tikus kecil bernama Jacky. Si Jacky ini berbeda dengan tikus yang lain karena ia sangat suka bersahabat dengan berbagai jenis hewan. Salah satu sahabat terbaikknya ialah Miki si kucing rumahan. Mereka berdua kompak mencari makanan bersama setiap hari.
“Miki gimana kalau kita ke pasar seperti biasa? Perutku lapar.” Ajak Jacky si tikus kecil.
“Waah boleh, ayok mumpung aku juga belum makan.” Sahut Miki.
“Eh, tapi kalau ketahuan kelompok kita gimana?” Tanya Jacky khawatir.
“Tenang saja, kita seperti biasa saja, kamu sembunyi didalam tasku.” Jawab miki tenang.
Mereka berduapun berangkat menuju pasar dengan perjalanan yang sembunyi-sembunyi dari masing-masing kelompoknya.
Kelompok tikus dan kucing memang sudah sejak lama berselisih. Banyak faktor yang mempengaruhi antara lain perebutan wilayah kekuasaan, perebutan makanan dan masih banyak lagi. Sehingga sering terjadi perselisihan, dan juga pertengkaran antara kelompok kecil bahkan kelompok besar.
“Eh, jack ada boss Piki di depan bagaimana ini?” Tanya miki dengan nada khawatir.
“Lanjut jalan saja santai pokoknya jangan sampai ketahuan.” Jawab jacky sok bijak.
Dengan sedikit keberanian, Miki lewat di depan Boss Piki dengan tatapan yang tak biasanya.
“hei kamu, kucing kecil mau kemana?”
“Saya mau kepasar cari makan boss”
            “Lalu di dalam tas kamu ada apa kok sepertinya menarik?” goda Piki.
            “Bukan apa-apa boss Cuma pakaian saja.” Jawab miki khawatir.
Di dalam tas pun si Jacky merasakan ada sesuatu yang tidak beres dan berusaha untuk mengintip keluar. Dengan sedikit usaha, jacky berhasil membuka sedikit resleting tas milik Miki. Tidak di sangka-sangka resleting tersebut terbuka lebar dan membuat jacki terjatuh di antara Miki dan Piki yang sedang berdialog.
“Bukkkk...” suara Jacky jatuh dari dalam tas Miki.
“Eh kamu siapa?” Hardik si Piki
Tanpa sepatah kata, si Jacky langsung melarikan diri diantara kerumunan orang-orang di pasar. Si Mikipun nampak kebingungan dengan apa yang harus ia lakukan karena si Piki telah memanggil pasukannya untuk mengejar Jacky.
Jacky berlari kencang menuju rumahnya, akan tetapi rumah si Jacky sudah dijaga oleh beberapa anak buah Piki. Melihat banyak kelompok kucing si jackypun berlari memutar balik menuju markas teman-temanya. Sayangnya di dalam markas Jacky tidak menemukan satupun temannya.
Di lain tempat, Piki murka besar kepada Miki karena dianggap seorang pengkhianat.
“Hei kamu kucing kecil, berani beraninya ya kamu berteman dengan tikus jalanan yang menjijikkan itu.” Bentak Piki kepada Miki.
“Maaf, tapi Jacky tidak seperti yang bos bayangkan, dia sangat baik berbeda dengan tikus lainnya.” Jawab Miki.
“Halah, tidak ada sejarah yang mengatakan ada tikus yang baik dan tidak ada pula sejarah yang mengatakan kita boleh bersahabat dengan tikus, karena kesalahanmu ini kami anggap kamu bukanlah kelompok dari kami, carilah tempat tinggal dan juga makan di tempat lain. Kalau perlu minta sana sama tikud jalanan yang bau itu.”
Dengan sangat marah si Piki mengusir Miki dari kelompok kucing pasar, Si Miki kebingungan dengan nasib sahabatnya Jacky yang dikejar-kejar oleh anak buah Piki. Ia berusaha mencari dengan berlari keliling pasar sampai ke sungai tempat mereka biasa bermain bersama, akan tetapi hasilnya nihil. Si Miki tidak menemukan sedikitpun jejak Jacky.
Si Jacky yang kebingungan mau kemana terus berlari hingga menemukan satu temannya. Ia berbicara kepada temannya bahwa ia sedang di buru oleh geng kucing pasar anak buah Piki.
“Akhirnya ketemu, tolong aku di kejar anak buah Piki.” Eluh Jacky.
“Kok bisa? Tunggu disini aku panggil teman-teman.” Jawab tikus jalanan itu sambil langsung berlari kencang.
Kucing-kucing anak buah Piki pun semakin dekat dengan Miki. Si  Jackyyang sangat risau terus berlari agar tidak sampai bertemu dengan gerombolan Kucing Pasar. Ia terus berlari hingga sampai di ujung jurang yang sangat dalam.
“Bagaimana ini kalau aku tertangkap?” Gumam si Jacky di dalam hati.
Di lain tempat Miki yang sangat kebingungan dengan nasib temannya berusaha memberanikan diri untuk menemui bos Piki di Markas besar kucing pasar. Dengan tekat yang sudah sangat bulat, ia memantapkan langkahnya untuk memasuki markas yang sudah mencoret namanya dari daftar anggota.
“Permisi bos Piki.” Sapa Miki dengan nada yang sangat lirih.
“Berani-beraninya kamu kesini? Masih besar sekali nyali kamu?” Bentak Bos Piki.
“Tidak, saya ingin meminta keringanan, bos boleh mengusir saya akan tetapi jangan melukai teman saya Jacky, dia sudah sangat baik tidak seperti tikus yang lainya.” Pinta Miki.
“Banyak omong kamu, sekali tikus ya tetap tikus tidak ada sejarah yang mengatakan ada tikus yang baik.” Hardik Bos Piki.
“Tapi boss.”
“Ahh Sudahlah, Pengawal!”
“Iya boss.” Jawab pengawal.
“Seret keluar kucing tak berguna ini.” Perintah Bos Piki.
“Siap Bos.” Jawab pengawal serentak.
“Tapi boss, saya jelaskan duluu” ucap Miki.
Akan tetapi Bos Piki yang terlanjur marah tidak mau lagi mendengar kata-kata yang di ucapkan Miki. Ia tetap pada pendiriannya untuk tidak berteman dengan tikus karena hal ini sudah di lakukan secara turun temurun dari Nenek moyangnya. Tidak ada yang mau damai bahkan berteman dengan tikus.
Si Miki yang kebingunganpun mengingat satu tempat. Dimana dia sering merenung bersama Jacky.
“Pasti dia ada di dekat jurang.” Simpul Miki
Tanpa pikir panjang dia langsung berlari menuju jurang tempat ia biasa berdua bersama Jacky. Ia sering bertukar pikiran membicarakan banyak hal tentang pertemanan dan rencana- rencana mereka untuk mendamaikan kelompok mereka yang selalu bertentangan. Disitulah mereka berdua menggantungkan tinggi-tinggi mimpi mereka. Bersama purnama di antara bintang-bintang berselimut senja bahkan terbakar sinar sang surya sudah mereka lalui bersama.
Si Jacky yang telah sampai dulu di jurang masih was-was, takut bila ia akan tertangkap. Benar saja, tak lama berselang si kucing anak buah Piki sampai juga di ujung jurang.
“Hahaha...akhirnya ketemu juga tikus jalanan ini. Siap-siaplah menjadi tikus pepes, hahaha...” Kata seekor kucing anak buah Piki.
“Tidak, aku bisa jelaskan.” Bela Jacky dengan tubuh yang gemetar.
“Jemput bos Piki, kita habisi saja mereka.” Kata seekor kucing lain.
“Oke, aku saja yang jemput.” Jawab Tomas, yang menjabat sebagai perdana menteri kucing pasar.
Kelompok kucing tersebut membentuk lingkaran untuk mengancam dan juga mematikan pergerakan Jacky. Si Jacky yang sudah terpojok hanya mampu berdoa agar teman temannya segera sampai dan dapat menolongnya. Tak lama kemudian sampailah Bos Piki untuk mengadili tikus malang itu.
“Ternyata ini, tikus yang katannya baik? Dalam sejarah kucing, tidak ada yang namanya tikus baik! Bawa saja ke markas kita adili disana.” Perintah Bos Piki.
Akan tetapi terdengar sebuah lengkingan hebat dari belakang kerumunan kucing.
“Tunggu...aku yang bertanggung jawab.”
Sontak seluruh perhatian tertuju pada sumber suara itu. Ternyata Miki. Dengan berani ia masuk ke dalam lingkaran untuk membela temannya yang sudah dipojokkan oleh komplotan kucing.
“Ternyata kucing ini lagi, masih berani? Hahaha.” Kata bos Piki.
“Maaf sebelumnya, jika Bos mau menghukum Jacky, hukum juga aku karena aku yang salah.” Kata Jacky.
“Kau benar, wahai pengawalku bawa mereka berdua kita berpesta malam ini hahaha.”
Belum selesai tertawa, rombongan tikus datang dengan tiba tiba dengan jumlah yang lumayan luar biasa.
“Kau, kucing berani-beraninya kalian menyakiti bangsa kami awas saja kau!”
Tanpa banyak bicara kelompok tikus menyerang kucing dan pertarungan hebatpun tak dapat di hindarkan sampai pada akhirnya Piki yang terkena pukulan tikus sempat oleng dan terperosok di jurang. Akan tetapi tangan Jacky menggenggam erat tangan Piki yang sudah berkali-kali menghardiknya itu.
Teman-teman Jacky memintanya untuk melepas saja genggaman itu akan tetapi Jacky teringat dengan petuah gurunya seekor semut tua.
“Berbuatlah baik dalam keadaan apapun, sekalipun itu kepada orang yang telah menyakitimu.”
Kata-kata tersebut terngiang-ngiang di kepala Jacky. Akhirnya ia menyelamatkan Piki dengan menariknya keatas. Piki pun sempat terdiam dan bertanya tanya seharusnya tikus kecil itu bisa balas dendam dengan melepas pegangannya akan tetapi kenapa tidak.
Ia berpikir cepat dan dengan wajah yang memerah akhirnya ia berteriak.
“Berhenti... Sudahi saja pertarungan tiada guna ini!”
“Sudah bertahun tahun aku dikenal keras kepal jika berbicara masalah perdamaian dengan tikus. Akan tetapi hari ini, aku tahu bahwa tidak selamanya bernusuhan itu baik. Aku tahu diantara kalian (tikus-tikus) pasti banyak yang tidak suka padaku akan tetapi hari ini detik ini aku ku proklamirkan sesuatu untuk kalian. Dengan ini saya nyatakan perdamaian kepada kelompok tikus dan mengaku bersalah karena merasa memiliki segalanya dan tak mau berbagi.”
Mendengar kata-kata itu, seluruh kelompok merasa kaget dan bertanya-tanya mengapa permusuhan yang telah lama bisa secepat ini selesai.
“Kalian pasti bertanya-tanya, aku bisa bicara seperti ini karena tikus kecil ini. Setelah sekian banyak ancaman dan juga siksaan yang telah ku berikan, ia masih mau untuk menolongku padahal bukan tidak mungkin ia membunuhku. Aku berhutang nyawa padamu nak dan sebagai gantinya bagaimana kalau kita berdamai sudahi saja segala permusuhan yang tak berujung ini?”
Tidak membutuhkan waktu lama untuk kelompok tikus memutuskan jawaban.
“Saya mewakili kelompok tikus menerima dengan besar hati permintaan maaf kalian jika kita semua bersatu pasti kita akan lebih cepat maju.”
Suasana yang sangat panas itu di akhiri senja yang menghangatkan di tambah dengan kehangatan keluarga yang terbentuk buah dari perbuatan baik. Mereka saling berpelukan dan  saling memaafkan. Jacky dan Miki pun mengukir sejarah, mendamaikan kelompok mereka yang bertentangan tanpa berkesudahan. Sekarang mereka bebas bermain dan mencari makan bersama tanpa ransel tanpa sembunyi. Tanpa ada khawatir karena mereka semua sekarang adalah Keluarga.
                                                              

Selesai...








Hujan

Ini Hujan
lebat nya menutup malam rintiknya dibantu angin menjadi badai kecil,
gemuruh suaranya
Meniup kencang
Jalan sepi dan
listrik mati
dingin menjelajah
Menyetubuhi diri,
Aku Sendiri
Tuhan, aku sendiri

Rabu, 22 April 2020

Hilang

Ketika aku kira angin telah mati,,
Kau akan mendengar suaraku yang sering kali terasa kekal,
Namun terasa semakin datang nestapaku ..
Melihatmu dimenangkan oleh dia.
Awan kelabu mengelilingi diriku ..
Dini hari semakin sepi, bersamaan dengan rintik hujan yang mulai jatuh.
Datanglah hujan dan jangan berhenti ..
Agar sesalku terlampiaskan.
Kenangan tersimpan didalam perapian,
Arah tuju semakin menjauh,
Kayu yang lapuk isyaratkan,
Untuk melupakan.
Aku mencoba tidak peduli ..
Tak ingin kubiarkan berdebu, karena rindu akan terus terpaku ..
Kunyalakan api agar membakar semuanya,,
Dan menjadikannya abu.

Selasa, 21 April 2020

Tarik

Fantasi waktu membuat alam kembali merayu
Meminang batin dari lamanya jeda rindu
Iklim terus menggiring nikmat para pecandu
Hanya rasa dan doa yang saling beradu
Titik terbaik yang aku temukan bersama terang
Adalah ketika pergimu, kembali pulang
Sebab rindu pun tak akan tertuang
Jika lembaian tak bisa didulang
Detik ini aku sematkan doa-doa panjang
Menahan berkali-kali rindu yang menikam
Sesunyi ini aku tafsirkan kasih sayang
Menahan pamit dari pergi yang bosan
Hei perempuan pembunuh darah
Adakalah rasa tak bisa diterka
Maka kosongkan emosi dari cinta
Sebab bahagia bukan hanya asmara
Dan Sore telah menjelma alam
Aku menyambut kesendirian yang begitu cinta
Sesayup keindahan kata dan kalam
Terbisik rasa perjaka di puncak havana
Aku memilih disini
Jika berjuang hanya merusak jalan cerita
Aku tetap seperti ini
Jika berubah hanya merawat airmata

Minggu, 19 April 2020

Hujan


Ini adalah hari pertama langit menumpahkan kesedihannya
Setelah sekian lama dan sekian banyak ambisi juga nafsu membakar hijaunya permadani pertiwi
Serta derasnya banjir air mata yang masiih belum mampu melunakkan kobaran kebencian yang merajalela
Entah sampai berapa lama ini akan terus terjadi
Sekali?
Dua kali?
Ataukah mungkin setiap waktu hingga benar-benar hilang rasa sakit di muka bumi ini

Jauh sebelum semua ini terjadi,
Langit seperti inilah yang di tunggu kedatangannya
Yang selalu memberikan kebahagiaan serta kehidupan
Menebarkan tawa dan juga kegembiraan di antara kerinduan

Namun apalah daya, kini tiada lagi tawa yang benar-benar tawa
Semuanya kelam di tutupi awan mendung yang menjelma menjadi pembuat janji ulung dan tak pernah bisa menepati

Jadilah kini, tak dapat tertebak lagi
Kegundahan apa, senyuman apa tawa apa dan tangis apa yang di rasakan langit
Langitku hanya mampu mengirim pesan dengan perantara Hujan

Menawar Surga


Tuhan
Engkau Maha sempurna
karenanya sejatinya kami ini adalah hampa
hampa tanpa ada sebagian ruh Mu
yang kau hembuskan sejak ajali dulu

Tuhan
Engkau sumber segala cinta
karena sejatinya kami ini adalah buta
buta tanpa ada sebagian penglihatan Mu
yang engkau berikan sejak ajali dulu

Tuhan
Sesungguhnya engkaulah sebab awal
karena sejatinya kami tiada tanpa ketetapan Mu
dalam kehampaan kami akan kehadiran Mu
dalam kebutaan kami melihat diri Mu
dalam ketiadaan kami tanpa Mu
akhirnya tiada ada kami tanpa Mu
masih bolehkah kami menawar Surga Mu
kami terlalu takut dengan Neraka Mu
bahkan kami takut meski sekedar bertanya
bolehkah kami seluruh manusia dikumpulkan di Surga saja
maaf Tuhan kami telah lancang

Sabtu, 18 April 2020

Hilang Arah

Kalau jendela mengabarkan mendung di luar
Aku sudah tak takut lagi pada petir
Sebab sebagian besar hidupku terlampau getir
Menyayat batin yang kian satir
Sebuah dongeng membuai
Imanku jadi terbengkalai
Menangisi laku saja masai
Ragaku hilang di tengah badai
Hari ini aku bernapas lega
Esok telah di gotong keranda
Lalu ditanya sang penanya
Gagu lah aku menjawabnya
Dari lubang tak bernama
Aku di giringnya ke padang macam sabana
Berjuta mata tampak merana
Tak menyapa, apalagi mengulurkan tangannya
Aku menonton pertunjukan
Dimana aku sebagai pemeran
Hinalah aku di hadapan Tuhan
Langkah kaki tak pernah sejalan
Dari padang luas, aku meniti jembatan
Di bawahnya api sebagai jilatan
Ragaku bergetar tak karuan
Adakah pantas aku mengharap ampunan?
Mulutku di robek
Sebab ucapku selalu molek
Mataku ditusuk paku
Sebab pandangan tak pernah di belenggu
Aku berjalan
Tapi kakiku menolak teruskan
Sebab bara api sebagai hamparan
Aku mendengar suara yang begitu memekakkan
Teriakan, isakan, bahkan gaungan penyesalan
Akupun demikian
Tapi jamuan belum selesai di hidangkan
Aku masih harus mendekam
Di samudra api terdalam
Tubuhku telah lelam
Tapi kemudian kembali macam sihiran
Ya Rabbuna
Adakah ampun bagiku yang durhaka
Tak sanggulah menahannya barang sedetik saja
Membayangnya sudah pening kepala

Jumat, 17 April 2020

Aku dan Dewa Malam

Dekap hangat angin mengiringi sapa lembut sang rembulan
Menemani keheningan di gulita malam
Membawa kembali beribu kenangan

Yang berhias indah di antara bintang-bintang



Namun, jiwa ini terasa di permainkan sayang

Oleh tipu daya sang dewa malam
Apakah memang benar? Kalau ini semua bukan sekedar permainan?

Terkadang aku mulai ragu dengan arah jalanku
Dimana semua orang telah keluar dari malam
Menuju sang surya yang amat cerah dan tampak menawan
Bukan hanya kelam, yang kejam dan hanya menjanjikan kebohongan

Sang dewa malam menyangkal, Dialah sang pemberi kepastian
Dialah cahaya yang sebenarnya, tak perlu lagi di ragukan
Harapan, impian serta segala bentuk keinginan akan datang
Berjalan beriringan bersama sang dewa malam

Hati ini menolak!
Ia melihat keluar, dengan cahaya yang lebih besar
Sumber segala kehidupan, yang mengabulkan segala keinginan serta pemberi beribu harapan
Tapi tidak terlihat, tidak mampu melihat dan tidak ada yang di lihat

Kembali perdebatan dengan sang dewa malam terus terjadi
Sampai sang mentari mengintip, terpingkal-pingkal menertawai
Merebutkan yang sebenarnya bukan milik mereka
Merebutkan sesuatu yang tidak ada

Ya, Mereka nampak terlihat bodoh dengan kepandaiannya