Pages

Kamis, 21 Mei 2020

Kau Humairahku

Ntah apa yang merasuki Istriku, sehingga dia ingin mengasih nama panggilan bayinya Sukirman atau Sukirna. Tetapi, aku sih oh aja!
“Kenapa sih, nama bayinya gak keren?” tanyaku.
“Iri? Bilang bos!” ketusnya.
“Astaghfirullah!” Aku mengusap wajah dengan kasar.
“Tumben, istigfar?” ejeknya.
“Aku! Jadi ... Duta sampo lain? Hahaha! Dulu pernah, pengen punya bini waras. Tetapi, itu dulu sekarang malah punya bini absurd!” ketusku.
“Kamu ngomong?” tanyanya polos.
“Ku menangis ... Membayangkan, betapa polosnya Istriku yang satu ini.”
“Bilang apa tadi? Istriku, yang satu ini? Emangnya Istri kamu, ada berapa hah?!” tanyanya sambil melotot.
“Istri aku, cuman Humairah seorang suer,” jawabku cengengesan.
Diapun manggut-manggut, sambil melangkah menuju kamar mungkin. Aku hanya mengikutinya, dari belakang.
“Mas, coba kesini sebentar,” ucapnya.
“Ada apa, sayang?“ tanyaku.
“Ambilin aku, kerudung segiempat dong.”
Aku langsung mengambil kerudung, berwarna merah muda miliknya.
“Buat apa sih, beginian?” tanyaku bingung padahal dia sudah memakai kerudung dan cadarnya.
“Aku mau dandanin, Mas Fadlan. Biar couple gitu, sama aku hehe,” jawabnya.
“What?!” teriakku.
“Ish, jangan teriak-teriak Mas! Cepetan kesini!” perintahnya.
Akhirnya akupun menurut, dari pada kena amukan betina 'kan serem.
Diapun mengambil peralatan make-up miliknya, kemudian dia memoles ntah apa itu aku juga gak tahu.
“Nah terakhir, Mas Fadlan, harus pakai ini!” perintahnya lagi sambil mengeluarkan lipstik pink.
“Terserah!” ketusku pasrah.
Sedangkan Istriku? Dia terus memoles semua make-up dipipi, dialis dan terakhir dibibir sexi milikku.
Setelah puas memoles, Istriku langsung memakaikan kepalaku jilbab merah mudanya. Akupun hanya pasrah! Demi kamu, apapun akan aku lakukan eak!
“Selesai,” ucapnya tersenyum dibalik cadar hitamnya.
“Gerah!”
Ingin sekali, aku melepaskannya tetapi dia mencegah perbuatanku.
“Jangan, dilepas Mas!” rengeknya.
Aku mengangguk. Sementara Istriku, dia hanya terkekeh geli melihatku begini.
“Sekarang, Mas Fadlan, ngaca!”
Akupun mengikuti keinginannya, ketika aku melihat diriku dikaca. Allahuakbar! Aku cute banget.
“KYAA! KENAPA, MUKA TAMPANKU MENJADI CANTIK? YA ALLAH, HUMAIRAH!” teriakku.
Istriku tertawa dengan keras. Sedangkan aku, hanya mendengus kesal. Bagaimana tidak kesal? Muka gantengku, berubah menjadi cantik!
'Harga diri, gue!' batinku menjerit.
Duh bang Fadlan

Parafrasa Puisi dan cerpen karyane Mas Anton


Parafrasa Puisi dan Cerpen karya Lesbianton
Oleh: Arizza Nanda Fadhilla
A.    Parafrasa Puisi menjadi Pantun
1.      Satu kata
Nampaklah indah bumi pertiwiku
Tak cukup tahu sekedar dari buku
Marilah bicara bersamaku
Kenali diriku jangan sekedar namaku
2.      Dibalik kejadian yang nyata
Rimbunnya hutan tak rupa lahan
Lahan di babat rakus di ganyam
Bila kau ingin mengingat Tuhan
Bukalah mata pandanglah alam
3.      Terlepas dari kesalahannya
Tak ada sukses tanpa terjal
Terjal perjalanan sebagai ukur
Wahai kalian manusia berakal
Sudahkan kalian semua bersyukur?
4.      Tuhan
Tiada nikmat yang tak semu
Melainkan nikmat terbesar dengan bertemu
Izinkan aku merasakan nikmat terbesar-Mu
Yaitu dapat bertemu dengan Dzat-Mu
5.      Tuhan
Tiada pohon tanpa akar
Tiada sampah tanpa lalat
Izinkan aku hidup liar
Tanpa aturan yang mengikat
6.      Tuhan
Saudagar datang hendaklah di jamu
Siapkan mangga beserta duku
Begitu banyak nikmat dari-Mu
Mana sisa yang kau berikan untukku
7.      Tuhan
Bahagia hanyalah bayangan
Bayangan indah yang menipu
Jika kerinduan jaraknya kematian
Cabut nyawaku, obati rinduku

B.     Parafrasa Cerpen menjadi Puisi
1.      Harian Budaya Blora
Pagi ini mentari tersenyum indah
Mengisyaratkan sebuah kabar gembira
Begitu juga langit seakan bernyanyi indah
Di iringi tarian dari gumpalan awan
Sungguh hari yang sangat bersahabat

Kendang mulai di pukul
Pinggul mulai di goyang
Suasana riuh penuh kesenangan

Akan tetapi sekejap awan hitam menutup hari itu
Langit-langit tak kuasa menumpahkan air matanya
Ya semua kecewa
Akan tetapi masih masih dapat kita sembunyikan luka
Bersama tangis ceria hari itu

2.      Dalang Nasional
Mimpi tak sekedar memejamkan mata, melihat keindahan yang semua terasa terbias oleh bayang senja,
atau mungkin seperti melihat di balik jendela dengan sebuah lensa yang tertutup embun dan menutup pandangan mata.
Pemandangan jauh di depannya terasa hangat dengan selimut lembayung sutra , dengan edelweis  meski tak ada setangkai bunga pun di sana, hanya rerumputan yang menari iringi nyanyian alam tanpa ada gerakan.
Tidak! Lebih dari itu, mimpi adalah sebuah skenario semesta
yang mengukir  tentang sebuah cerita tanpa ada dusta di dalamnya.
Mengajarkan membuka mata, keluar dari dekapan kabut yang membelenggu indahnya senja.
3.      Barungan Blora 1
Negeri Ini
Di tengah purnama ia bermimpi
Menjadi sebatang ranting tua yang mengering
Yang rapuh tiada yang menatap
Semuanya berpaling
Yang tak mampu bertahan di saat hujan
Yang tak berdaya di jatuhkan angin
Yang tak bisa menolak menjuak dirinya untuk bumi
Yang terbakar saat senja mulai menyapa
Hanya satu akar yang dapat menopang
“Keberagaman”
4.      Barungan Blora 2
Sungguh bahagia negeri ini
Walaupun lapar tetap tertawa
Menutupi air mata dengan topeng yang mengerikan
Menyembunyikan cerita di balik tawa bahagia

Ya inilah negeriku
Dengan berbagai keragamannya
Dengan topeng seram serta badut badutnya
Yang tidak dapat di tebak siapa di balik semuanya

Cerita mengerikan yang mengundang kebahagiaan sudah biasa terdengar
Bahkan dengan iringan music serta tari-tarian
Tidak ada luka yang benar benar luka di negeriku

Negeri yang kaya
Dan bahagia

5.      Barungan Blora 3
Banyak sekali atraksi serta spekulasi dari para penari negeri ini
Rakyat hanya bisa menonton sembari mengamati apa yang sebenarnya terjadi
Laki-laki perempuan semuanya berkerumun
Menanti apa lagi yang akan di suguhkan oleh para penari

Apakah akan ada tangis lagi?
Atau bahkan bukan sekedar tangis
Bisa jadi mereka jadi korban ketidak tahuan

Hahaha
Negeriku


6.      Kutemukan Keragaman dalam Sahabat di Pramuka
Mentari sore hangat menyinari
Menyambut mengajakku menari
Angin melambai menarikku berlari
Bukit bukit tersenyum manis sekali
Bercengkrama tubuhku dengan langit
Membuatku lupa apa itu rasa sakit
Tersenyum bibirku dengan awan
Membuatku lupa bagaimana ditinggalkan

Kaki-kaki ku menari beraturan
Diatas hijau permadani rerumputan
Bersamaan kedua mata kepejamkan
Tak kusangka kekasihku hadir dengan senyuman
Ikut menari menambah alunan
Tanganku tak kuasa memeluknya
Bibirku berkata ‘’aku jatuh cinta’’
‘’aku jatuh cinta’’ ‘’aku….jatuh cinta’’
Mataku terbuka,air mataku leleh dengan hebatnya
Butir kelapa ini membawa mimpi ke depan mata

Kupu Kupu Malam

“Terserah kamu mau bayar berapa. Tapi di atas dua ratus ribu. Aku butuh uang!” Suara tegas dari sosok Lana, membuat pria yang ada di depannya tertawa.
“Haha. Bisa kurang?”
Lana menatap tajam pria berkulit sawo matang itu.
“Aku menemanimu tiga jam. Tolong jangan bercanda. Aku sangat butuh uang!” sanggah Lana penuh emosi.
“Kamu sudah tidak perawan. Berarti bayarnya pun dikurangi.” Pria itu mengeluarkan lembar lima puluh ribu dari saku bajunya.
Amarah Lana memuncak. “Itu bukan urusanmu. Sesuai perjanjian, kamu harus bayar sekarang!” bentak Lana lantang.
“Baiklah. Ini ...!” Tiga lembar merah mendarat ke wajah Lana. Gadis itu tersenyum, memungut lembar itu dengan bahagia.
Lana, si gadis cantik yang masih berumur enam belas tahun. Di usia yang masih belia ia nekat menjadi kupu-kupu malam demi menjemput pundi rupiah. Bukan karena kemauan, tetapi karena paksaan dari seorang bibi yang begitu keras memperlakukan hidupnya. Menangis, itulah yang bisa ia lakukan ketika menyendiri di kamar. Namun, karena sudah terbiasa, gadis itu merasa aman dengan pekerjaan yang digelutinya sejak delapan bulan silam.
“Lana, Sayang ....” Suara sang Bibi mengagetkan Lana yang hendak masuk ke kamar setelah lelah pulang dari tempat kerjanya setiap malam. Lana menghembus napas pelan. Wanita berumur empat puluh tahunan itu menggandeng sebuah tas ukuran sedang di tangan kirinya.
“Apa itu?” tanya Lana spontan.
“Ini hadiah dari Om Verdi untukmu ... sebagai ucapan terima kasih.”
Lana menerima tas itu dengan gembira. Ia cepat-cepat membukanya. Ada jam tangan, kacamata, dan setengah lusin baju setengah jadi.
“Makasih, Bi ....” Lana memeluk erat wanita itu dengan penuh gembira. Senyum licik seorang Bibi pun tenggelam di bahu milik Lana.
“Mana uangnya?” Mata sang Bibi melebar saat melihat lembar merah dari tangan keponakannya.
Matahari telah menampakkan wujudnya. Sosok Lana masih tertidur di kasur empuknya. Sudah dua tahun lebih ia tinggal bersama sang bibi setelah orang tuanya meninggal dunia. Ia hanya tamatan SMP.
Sosok bibi—yang kerap disapa Jummi oleh warga sekitar. Wanita itu memiliki watak misterius. Dia hanya berpikir uang dan uang tanpa memikirkan nasib remaja enam belas tahun itu, yang tak lain keponakannya sendiri.
“Lana, bangun!” Sang Bibi berteriak dari ruang tamu, membuat gadis itu terperanjat.
“I-iya, Bi.” Lana bangkit membuka pintu kamar.
“Ayo kita ke mall, berbelanja sepuasnya. Kamu mandi sana ....” Jummi berkata dengan senyum khasnya.
Lana terdiam, lalu ia berucap, “Tapi aku belum makan, Bi.”
“Aduh kamu. Kita makan di luar atuh!”
“Oh, baiklah. Aku mandi dulu.”
“Iya, jangan lama-lama.”
Lana mengangguk, lalu bergegas ke kamar mandi.
Sayup-sayup terdengar percakapan di ruang tamu. Sosok Lana menguping pembicaraan mereka, tak lain Jummi—si bibi yang sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon genggam. Speaker diperbesar, entah ia ingin memancing Lana atau ia lupa jika sang keponakan sedang berada di kamar mandi.
“Bibi ... Bibi jahat!” teriak Lana dari dalam.
Sang Bibi tertegun, langsung mengakhiri teleponnya dengan orang di seberang.
“Lana, kamu di sini numpang. Beruntung kukasih makan. Coba kamu pulang ke saudara Ibumu di Surakarta, kamu harus jual lontong di sana ... sedang di sini kamu nggak capek sama sekali. Bersyukurlah Lana!” sanggah Jummi sedikit mengeraskan suaranya.
Lana keluar dari kamar mandi. Dia terdiam. Terlihat jelas, buliran bening jatuh dipelupuk matanya.
“Sana pakek baju. Kita makan di luar.” Lana mengangguk, menelan perih di hati.

Aku

Kalian tahu siapa aku? Hem pasti jawabnya tak. Iya, 'kan? Ya iyalah. Eh, kok aku nanya ini ya? Ups, dah abaikan je. Ini hanya sesuatu yang konyol, mungkin dan tak perlu jawaban.
Hanya pengantar cerita biar kagak garing.
Akan tetapi, terkadang aku juga bisa nangis juga loh? Ya aku ini, 'kan hanya manusia biasa dan masih sama seperti kalian semua. Punya hati dan perasaan. Entahlah, aku di mata kalian seperti apa.
Jika ada yang salah di diriku ini, maafkanlah. Karena aku pun terkadang tak tahu, dengan diriku sendiri. Tapi, seperti inilah aku.
Tidak bisa berpura-puraa untuk menjadi diri orang lain. Sebab jika itu terjadi, maka semua pasti berbeda.
Jujur mencari sahabat ini yang kuinginkan, bukan mencari musuh. Namun, jangan pernah menyakiti hati ini dengan perkataan.
Karena perkataan yang menyakitkan, mungkin akan tertinggal di benak ini. Beda dengan pukulan, yang mungkin pada saat itu akan hilang tak meninggalkan bekas.
Aku pribadi mudah berteman dengan siapa pun, selama mereka tak menyakiti atau mengecewakan. Karena aku pun tak ingin berbuat seperti itu.
"Kak, kok ngelamun? Lagi mikir apaan?" Lia adikku seketika membuyarkan lamunanku.
"Enggak papa, kok Dik," jawabku menghilangkan kecemasannya.
"Beneran, Akak nggak mikir sesuatu?" Lia seolah ingin mencari jawaban dari mata ini.
Sekali lagi aku menggeleng menghilangkan rasa khawatirnya. Ya, saat ini dialah yang bisa mengerti aku.
"Akak nggak bohong, 'kan?" Tatapnya tak berkedip.
Mendengar ucapan Lia, kembali aku terdiam. Entah, mengapa tiba-tiba ada perasaan sakit yang menyelimuti diri ini. Kurasakan mata ini seketika berembun sebuah buliran bening jatuh tanpa kuundang.
Aku tak tahu, apa penyebabnya. Ya, aku bukan robot yang tak memiliki perasaan, yang tak bisa merasakan kesedihan dan yang tak bisa merasakan yang namanya sakit.
Aku manusia biasa, yang pada kodratnya pasti bisa merasakan semuanya. Maafkan aku, jika menurutmu aku berubah. Tapi, sebenarnya tidak. Mungkin hanya butuh proses untuk bisa mengembalikan semuanya.
"Akak, Lia tahu akak seperti apa. Jadi, nggak bisa nyembunyiin ini dari Lia," jawabnya menatapku.
"Dik, tak pe. Akak hanya ingin ..." Ucapanku terjedah beberapa saat lamanya.
Semua kejadian ini terputar ulang di memoriku, bulir air mata ini pun jatuh tanpa kuundang. Yang kusesali, mengapa ini harus terjadi?
Maaf, bukannya aku cuek, nggak seperti dulu lagi. Tapi, inilah aku yang tak bisa berpura-pura. Mungkin jika aku tertawa, ini hanya ingin menutup kesedihan di hati ini.
Selebihnya, aku tak bisa menutupinya. Biarlah waktu yang akan mengembalikannya. Maaf jika menurut kamu, aku berubah.
"Ish, Akak mah gitu! Ngegantung lagi. Kebiasaan, buruk dipelihara," oceh Lia menatapku.
"Haah? Akak nggak bawa tali, loh? Kok ngomong akak ngegantung kamu, dik?" Aku mencoba untuk bercanda di hadapannya.
"Bukan, gitu Akak." Lia sedikit protes.
"Terus, gimana maksudnya, Dik?" Sembari tersenyum aku balik menatap Lia.
"Ish, Akak berlagak bloon, lagi," oceh Lia melihatku.
"Hihihi." Sesaat kulupakan kesedihan yang sempat kurasakan.
Sementara Lia hanya bengong melihatku, "Sudahlah, Dik. Makasih dah buat Akak tersenyum," balasku mencubit pipinya dan kabur dari hadapan Lia.
"Akak! Awas, ya!" Lia mengejarku sampai keluar.
"Hihihihi!" Sontak aku tertawa cekikikan.
"Akak mah seperti Mbak Kunti kalau lagi tertawa, nyeremin."
Mendengar ucapan Lia aku kembali nyengir.
"Makasih dik, kamulah satu-satunya yang bisa buat akak bahagia dan tersenyum. Semoga tak ada lagi kesedihan di hati ini."
Ya, inilah diriku yang apa adanya dan sampai kapan pun akan seperti ini. Takkan berubah walau hanya sedetik.

Senin, 27 April 2020

Salah

Aku berjalan menikmati segarnya udara pagi, melewati jalan setapak yang di sisi kanan dan kirinya masih berupa hamparan sawah yang luas. Nampak di selatan gunung-gunung yang masih tertutup kabut, berjejeran.
“Selamat pagi, Lek Ndang, sampun gasik lek (sudah tiba lebih awal).” Aku sedikit membungkuk menyapa Lek Ndang yang sedang memetik timun.
“Ya, nek orak gasik, selak tutup pasare (kalau tidak lebih awal, keburu tutup pasarnya).” Lek Ndang memasukkan timun ke dalam karung dan beberapa dimasukkannya ke dalam Kantong keresek.
“Ki Nduk, nek meh gawe rujakan (ini Nak, kalau mau dibuat rujak).” Lek Ndang, menyerahkan kantong keresek yang berisi timun kepadaku.
“Mboten sah Lek, matur suwun (tidak usah Lek, terima kasih).” Karena merasa sungkan aku menolaknya.
“Orag opo-opo, wes gowo gawe rujakan (tidak apa-apa, bawa saja buat rujakan).” Lek Ndang memberikan kantong keresek kepadaku.
“Matur suwun, ya Lek (terima kasih, ya Lek).” Aku menerima kantong keresek sambil sedikit membungkuk.
Hidup di desa memang lebih menyenangkan selain udara dan lingkungannya masih asri, silaturahmi antar masyarakat juga masih terjalin dengan baik.
Lima puluh meter berjalan aku melihat, Karyo suami adikku, berjalan bersama seorang wanita.
"Karyo." Aku mendekatinya.
"Mbak?" Seketika Karyo menoleh ke belakang dan terkejut melihatku. Nampak di wajahnya keringat dingin bercucuran.
"Siapa wanita ini Karyo?, tega kamu sudah menduakan Amira." Aku menunjuk wanita di samping Karyo.
"Mbak, dengar dulu penjelasan saya." Karyo mendekatiku. Aku tidak peduli, berlalu meninggalkannya untuk menemui Amira, adikku. Memberitahunya tentang apa yang diperbuat Karyo di belakangnya.
“Assalamualaikum, Mir ... Mira ...” Aku mengetuk pintu rumah Amira, seraya berteriak memanggilnya.
“Wa’allaikum salam, ada apa mbak kok pagi-pagi sudah teriak-teriak?” Mira keluar membuka pintu.
“Suamimu Mir ... Suamimu!” Karena lelah berjalan cepat nafasku terengah-engah.
“Emang, ada apa dengan mas Karyo mbak?” Amira yang masih berdiri di pintu penasaran.
“Suamimu lo Mir, mlaku karo cewek neng dalan tegah sawah kono (suamimu Mir, jalan sama perempuan di jalan tengah sawah di sana).” Aku menunjuk ke arah selatan.
“Mbak mu ki lo Mir, heboh banget, weroh bojomu ki mlaku mbek cewek. Orak takok ndisek sopo cewek iki (kakakmu itu lo Mir, heboh banget, lihat suamimu jalan sama perempuan. Tidak tanya dulu siapa perempuan ini).” Karyo menunjuk perempuan muda yang ada di sampingnya. Dia ternyata menyusulku di belakang.
“Arep tak jelaske zo malah salah sangka ndisek, lansung mlaku rene, arep wadul awakmu (mau tak jelaskan dia langsung jalan kesini , mengadu sama kamu),” Karyo menjelaskan. Amira hanya terkikik sambil melihatku.
“Lo Mir, kok malah ketawa?” Aku bingung apa yang sebenarnya terjadi.
“Mbak, ini Nisa, sepupunya mas Karyo. Nisa sama ibunya menginap di sini semalam. Duduk dulu mbak.” Amira mengajakku duduk di kursi ruang tamu.
“Iya Nduk, Nisa ini anak Bu Lek, Bu Lek, adiknya Ibu dari Karyo.” Seorang perempuan berusia sekitar enam puluh tahunan keluar dari dalam. Aku hanya tersenyum malu, sudah salah sangka sama Karyo.

Minggu, 26 April 2020

Pelangi Pasti Datang

Semenjak kecil, aku tak pernah mengenal cinta-kasih dari ayah dan bunda. Hidup terpisah, bukanlah keinginanku.
Siapa pun pasti tak akan menginginkannya. Jika, aku ingin meminta, kuharap ini tak terjadi pada diri ini.
Bu Neni, beliaulah yang selama ini merawat dan membesarkanku. Beliau begitu menyayangiku, aku pun sudah dianggap seperti anak kandungnya sendiri.
Kutatap potret di tanganku, menurut Bu Neni, ini adalah orang tuaku. Namun, tak tahu di mana keberadaan mereka saat ini.
"Kak Tiara," sahut Anin dan memelukku.
"Dek, kapan kamu ke sini?" Aku berbalik ke arah Anin.
"Baru saja, Kak," jawab Anin dan duduk dekatku.
"I--tu, potret orang tua, Kakak?" Anin menatapku manja.
"Iya, Dek. Menurut mama kamu, ini orang tua Kak Tiara," jawabku balas menatap Anin.
"Kok, Anin nggak pernah ketemu?" tanya Anin ke arahku.
"Jangankan kamu, Kak Tiara pun hanya melihat lewat potret ini, karena dari kecil sampai detik ini, Kakak nggak tahu keberadaan mereka berdua," jawabku pada Anin.
"Kak, ada aku, Kak Nila, juga mama dan papa yang akan menemani, Kak Tiara." Anin memelukku erat.
Tanpa terasa ada buliran bening yang berhasil lolos dan jatuh di pipiku.
"Makasih, Dek," balasku memeluk Anin.
Saat ini usiaku menginjak lima belas tahun dan selama itu pula, aku tak pernah bertemu dengan kedua orang tuaku. Namun, kasih-sayang dari Bu Neni dan Pak Ari, tak pernah berkurang.
Akan tetapi, keinginanku untuk mengetahui keberadaan mereka begitu besar. Meski hanya sebentar, aku ingin bertemu dengannya adalah harapanku yang semoga suatu hari akan terwujud.
Aku ingin memeluk beliau, melepaskan kerinduanku yang telah terpendam selama lima belas tahun. Tak ada yang salah, 'kan? Ini wajar, jika seorang anak ingin bertemu dengan orang tuanya.
Kembali menetes air mata di pipi ini, bersamaan dengan itu. Kulihat Bu Neni menghampiriku.
"Ada apa sayang?" Bu Neni memelukku erat dan menyeka air mataku.
Saat ini, hanya air mata yang berbicara. Mulut ini, seolah tak mampu untuk bercerita tentang apa yang kurasakan sekarang ini.
"Kamu rindu dengan mama dan papa kamu?" Tanpa sengaja Bu Neni melihat potret di tanganku.
Aku anggukan kepalaku dan kemarin kupeluk beliau dan aku tumpahkan segala kesedihan dalam hati ini.
"Iya, Bu. Saat ini, aku ingin bertemu dengan mama dan papa," sahutku ke arah beliau.
"Nak, bersabarlah. Saatnya akan tiba. InsyaAllah, suatu hari nanti keinginanmu akan terkabul," jawab beliau balas memelukku.
"Kapan, Bu?" tanyaku menatap beliau.
"Pasrahkan pada Allah dan berdo'alah." Kembali beliau memelukku.
'Semoga kelak Allah mempertemukanku.' Aku berbisik lirih.
"Kakak, jangan menangis lagi, ya." Anin pun memukku.
"Makasih, Dek." Aku pun balas memeluknya.
Seuntai cinta memadu sukma tak henti selamanya. Sampai kapan pun kau kutunggu, mama, papa kuingin bertemu dengan kalian. Inilah harapan terbesarku saat ini.
***
Hingga suatu hari sepasang suami-istri berkunjung ke rumah Bu Neni, rumah di mana aku dirawat dan dibesarkan.
Tanpa sengaja kudengarkan percakapannya dengan Bu Neni, ibu yang telah merawat dan memberiku kasih-sayangnya padaku.
Ternyata, salah satu dari mereka adalah adik kandung dari mamaku. Mendengar penjelasannya ada rasa kebahagiaan yang kurasa saat ini.
"Bu, apa kami boleh bertemu dengan anak Mbak Seruni?" Kudengar beliau meminta ijin pada Bu Neni.
"Boleh, kok Mbak." Bu Neni menjawab sedetik kemudian.
"Sayang, Tante ini adalah keluarga kamu." Bu Neni menjelaskan.
"Tante Sasa, adalah adik dari mama kamu." Beliau memelukku erat.
"Maksud Tante?" tanyaku sedikit bingung.
"Tante adalah adik dari mama kamu, sayang." Dia kembali memelukku.
"Mama? Tante, mama di mana? Mengapa, bukan mama yang menjemputku?" tanyaku dengan wajah pengharapan.
Sepintas kulihat Tante Sasa mengusap air matanya dan kembali memelukku erat. Dia tak mampu melanjutkan ucapannya dan menatapku lekat.
"Ada apa, Tante?" tanyaku tidak mengerti.
"Nak, kamu sudah besar?" Suami dari Tante Sasa pun memelukku.
"Mama dan papa, kapan ke sini? Aku tidak sabaran ingin bertemu dengannya." Aku menatap ke arah Tante Sasa.
Tante Sasa memelukku erat, "Nak, kamu yang sabar, ya?" Tatapnya ke arahku.
"A--pa, apa yang terjadi pada mama dan papa?" tanyaku dengan wajah cemas.
Kurasakan dadaku sesak, dan sebuah buliran bening jatuh tanpa kuundang.
"Kamu, harus sabar, Nak," ujarnya dan membelaiku lembut.
Kembali Tante Sasa terdiam beberapa saat lamanya.
Bu Neni datang dan menjelaskan semuanya, tentang apa yang terjadi pada mama dan papa.
"Sebelumnya, kamu harus sabar Nak, karena setahun yang lalu ... mama dan papa kamu, meninggal karena mengalami kecelakaan pesawat." Tatap Bu Neni ke arahku.
"Lalu, kenapa mama dan papa membuangku, Tante? Apa, beliau berdua tidak mengharapkan kkehadiran Tiara?" Aku protes ke arah Tante Sasa.
"Sayang, mama dan papa kamu ... bukannya tidak sayang dan membuangmu. Tetapi, waktu itu keadaannya, tidak memungkinkan. Maafkan, beliau berdua," ungkap Tante Sasa membelaiku.
"Kenapa, Tante? Apa alasannya," desakku ke Tante Sasa.
"Nak, suatu hari nanti. Engkau akan memahaminya, tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya. Termasuk, mama dan papa kamu. Tante ke sini, ingin menjemputmu dan tinggal bersama Tante, di rumah Tante." Tante Sasa menatapku.
Aku bingung memilih ikut bersama Tante Sasa, atau tinggal bersama Bu Neni di rumah ini.
"Tiara, Tante Sasa adalah orang tua kamu juga. Ikutlah bersama beliau. Ibu, tidak papa sayang. Jika kamu rindu, kamu bisa datang ke rumah ini kapan saja. Pintu rumah Ibu, terbuka 24 jam buat kamu, Nak." Bu Neni memelukku erat.
"Kak, jangan lupa dengan Anin, ya." Anin menghambur memukku.
"Sampai kapan, pun Kak Tiara nggak bakal lupain kamu," balasku memeluknya.
Ada rasa kebahagiaan bercampur rasa sedih yang kurasa. Meski aku tidak akan pernah bertemu dengan mama dan papa, setidaknya aku lega sudah dapat mengetahui kabar mama dan papa.
Sebuah buliran bening kembali jatuh di pipiku. Air mata yang entah keberapa kalinya terjatuh di pipi ini. Tetapi kali ini adalah air mata kebahagiaanku.
Tak ada lagi kesedihan yang kurasakan dalam hati ini, aku yakin setelah hujan akan ada pelangi yang memberiku kebahagiaan. Pelangi itu pasti akan datang.

Sabtu, 25 April 2020

Bukan Puasa Pertamaku

Sahur kali ini terasa lebih menyedihkan dibandingkan tahun sebelumnya. Biasanya masih bisa menikmati sepiring nasi panas, telor dadar dan sayur bening ditemani segelas teh manis hangat.
Masih ada sisa mie instant yang diberikan warga sekitar kontrakan rumah untuk dijadikan menu makan sahur pagi ini.
Kulihat di bungkusan plastik hitam, sisa 2 bungkus mie instant. Beras sudah tak ada, apalagi telor. Untungnya aku hanya tinggal sendiri di kota yang katanya mudah meraih sukses ini.
Setelah membaca doa niat puasa, aku meneguk air hangat. Mie instant tak jadi kumasak, lebih baik buat nanti menu berbuka puasa.
Baru saja hendak sikat gigi, terdengar ketukan pintu.
"Assalamualaikum, Mas Ipul ..." kata suara yang tak asing di telingaku.
"Wa'alaikumsalam ..." Segera aku membuka pintu kontrakan.
"Eh Bu Nova, ada apa?" tanyaku pada ibu kontrakan.
"Sudah makan sahur belum, Mas?"
"Sudah, Bu." Bukannya aku berbohong, tapi memang niatku sudah cukup untuk melakukan puasa.
"Sahur pake apa, Mas Ipul? Nggak ada kompor gitu, kok!"
"Masak pakai magicom, Bu. Masak air. Yang penting niatnya," jawabku sopan.
"Jangan begitu, saya merasa sedih kalau saudara sesama muslim harus sahur dengan air minum saja, sementara saya makan enak ..." ucap Bu Nova.
"Maaf Bu, saya juga belum bisa bayar kontrakan untuk bulan ini, jualan saya lagi sepi ... ini saja saya mau kirim uang ke istri masih mikir dua kali."
"Jangan berpikir begitu, Mas Ipul. Uang kontrakan bulan ini sama bulan depan gak usah dibayarkan. Anggap saya membantu Mas Ipul dengan cara ini."
"Alhamdulillah, terima kasih banyak, Bu. Saya seperti punya saudara di perantauan, apalagi ibu dan bapak sangat baik terhadap saya."
Bu Nova dan suaminya memperlakukan aku seperti saudara sendiri. Mungkin karena mereka juga perantau, jadi memposisikan diri jika menjadi aku.
"Iya, sama-sama. Oh iya, ini dimakan untuk sahur, mumpung belum imsak," ucapnya sembari menyerahkan kotak makan berisi nasi dan semur daging.
"Makasih, Bu. Biar Allah yang membalas kebaikan ibu dan keluarga."
"Aamiin ... ya sudah saya permisi dulu, mau sholat subuh berjamaah di rumah. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Kupandangi kotak makan itu, air mata pun mengalir di pipi. Kutelepon istri di kampung, berharap mendengar kabar mereka yang baik-baik saja di sana.
"Hallo, Bun. Assalamualaikum ..."
"Wa'alaikumsalam, Ayah. Apa kabarnya? Sudah makan sahur, belum?" tanya istriku, ada rasa khawatir di sana.
"Sudah, Bun. Bunda dan anak-anak sudah makan sahur?"
"Alhamdulillah, sudah. Ini Hilmi lagi belajar mulai puasa penuh, Ayah gimana kabarnya? Kok kurusan?" tanya istriku, Aisyah.
"Kabar ayah baik, Bun. Cuma jualan lagi sepi!"
"Balik aja ke kampung, Ayah. Daripada susah di sana. Di sini kita bisa bertani. Masih bisa makan," sahutnya dengan mata berkaca-kaca.
"Nanti kalau situasi sudah kondusif, ayah akan pulang. Sementara sekarang Bunda baik-baik di sana sama anak-anak, ya?"
"Ya sudah kalau begitu, jaga kesehatan. Bunda kangen sama ayah." Aisyah terlihat menahan tangisnya.
"Iya, ayah juga kangen, Bunda. Insya Allah, kita pasti akan bertemu lagi dalam keadaan sehat." Aku berusaha tegar, sebenarnya hati ini sedih.
"Aamiin ... ayah jadi jualannya gimana?"
"Ayah jualan lewat online sementara, untung ibu kontrakan baik, membebaskan ayah untuk tidak bayar kontrakan untuk 2 bulan kedepan."
"Masya Allah, begitu baiknya pemilik kontrakan itu, Ayah."
"Iya, Bun. Tadi juga ayah dikirimkan makanan sahur."
"Alhamdulillah kalau begitu, Bunda sedikit tenang jadinya. Jangan lupa sholat subuh, ya?"
"Iya, Bunda. Oh iya, nanti ayah transfer uang. Gunakan sebaik mungkin, ya?"
"Nggak usah, pakai dulu aja untuk keperluan ayah di sana. Bunda masih ada simpanan hasil jahitan. Alhamdulillah, masih banyak yang order jahit. Malahan bunda niatnya mau kirim uang untuk ayah."
Begitulah Aisyah, selalu menerima kekurangan dan kelebihan ku sebagai suaminya.
Tak pernah mengeluh dengan apa yang kuberikan selama ini. Bersyukur aku memilikinya.
"Alhamdulillah, kalau begitu. Ya sudah, ayah mau sholat subuh dulu, salam untuk anak-anak."
Ini hari pertama aku puasa seorang diri di perantauan. Biasanya aku sudah berada di kampung bila puasa tiba.
Kini, di bulan Ramadhan yang bukan pertama kali untukku, aku harus ikhlas menjalaninya tanpa keluarga di sisiku.
Perjuangan belum berakhir, ini baru dimulai.
Aku akan terus semangat, sampai sinarNya datang membawa kebahagiaan untuk semua makhluk di bumi ini.

Kamis, 23 April 2020

Persahabatan Kucing dan Tikus



Zaman dahulu kala, di sebuah lubang hitam di sudut pasar tinggallah seekor tikus kecil bernama Jacky. Si Jacky ini berbeda dengan tikus yang lain karena ia sangat suka bersahabat dengan berbagai jenis hewan. Salah satu sahabat terbaikknya ialah Miki si kucing rumahan. Mereka berdua kompak mencari makanan bersama setiap hari.
“Miki gimana kalau kita ke pasar seperti biasa? Perutku lapar.” Ajak Jacky si tikus kecil.
“Waah boleh, ayok mumpung aku juga belum makan.” Sahut Miki.
“Eh, tapi kalau ketahuan kelompok kita gimana?” Tanya Jacky khawatir.
“Tenang saja, kita seperti biasa saja, kamu sembunyi didalam tasku.” Jawab miki tenang.
Mereka berduapun berangkat menuju pasar dengan perjalanan yang sembunyi-sembunyi dari masing-masing kelompoknya.
Kelompok tikus dan kucing memang sudah sejak lama berselisih. Banyak faktor yang mempengaruhi antara lain perebutan wilayah kekuasaan, perebutan makanan dan masih banyak lagi. Sehingga sering terjadi perselisihan, dan juga pertengkaran antara kelompok kecil bahkan kelompok besar.
“Eh, jack ada boss Piki di depan bagaimana ini?” Tanya miki dengan nada khawatir.
“Lanjut jalan saja santai pokoknya jangan sampai ketahuan.” Jawab jacky sok bijak.
Dengan sedikit keberanian, Miki lewat di depan Boss Piki dengan tatapan yang tak biasanya.
“hei kamu, kucing kecil mau kemana?”
“Saya mau kepasar cari makan boss”
            “Lalu di dalam tas kamu ada apa kok sepertinya menarik?” goda Piki.
            “Bukan apa-apa boss Cuma pakaian saja.” Jawab miki khawatir.
Di dalam tas pun si Jacky merasakan ada sesuatu yang tidak beres dan berusaha untuk mengintip keluar. Dengan sedikit usaha, jacky berhasil membuka sedikit resleting tas milik Miki. Tidak di sangka-sangka resleting tersebut terbuka lebar dan membuat jacki terjatuh di antara Miki dan Piki yang sedang berdialog.
“Bukkkk...” suara Jacky jatuh dari dalam tas Miki.
“Eh kamu siapa?” Hardik si Piki
Tanpa sepatah kata, si Jacky langsung melarikan diri diantara kerumunan orang-orang di pasar. Si Mikipun nampak kebingungan dengan apa yang harus ia lakukan karena si Piki telah memanggil pasukannya untuk mengejar Jacky.
Jacky berlari kencang menuju rumahnya, akan tetapi rumah si Jacky sudah dijaga oleh beberapa anak buah Piki. Melihat banyak kelompok kucing si jackypun berlari memutar balik menuju markas teman-temanya. Sayangnya di dalam markas Jacky tidak menemukan satupun temannya.
Di lain tempat, Piki murka besar kepada Miki karena dianggap seorang pengkhianat.
“Hei kamu kucing kecil, berani beraninya ya kamu berteman dengan tikus jalanan yang menjijikkan itu.” Bentak Piki kepada Miki.
“Maaf, tapi Jacky tidak seperti yang bos bayangkan, dia sangat baik berbeda dengan tikus lainnya.” Jawab Miki.
“Halah, tidak ada sejarah yang mengatakan ada tikus yang baik dan tidak ada pula sejarah yang mengatakan kita boleh bersahabat dengan tikus, karena kesalahanmu ini kami anggap kamu bukanlah kelompok dari kami, carilah tempat tinggal dan juga makan di tempat lain. Kalau perlu minta sana sama tikud jalanan yang bau itu.”
Dengan sangat marah si Piki mengusir Miki dari kelompok kucing pasar, Si Miki kebingungan dengan nasib sahabatnya Jacky yang dikejar-kejar oleh anak buah Piki. Ia berusaha mencari dengan berlari keliling pasar sampai ke sungai tempat mereka biasa bermain bersama, akan tetapi hasilnya nihil. Si Miki tidak menemukan sedikitpun jejak Jacky.
Si Jacky yang kebingungan mau kemana terus berlari hingga menemukan satu temannya. Ia berbicara kepada temannya bahwa ia sedang di buru oleh geng kucing pasar anak buah Piki.
“Akhirnya ketemu, tolong aku di kejar anak buah Piki.” Eluh Jacky.
“Kok bisa? Tunggu disini aku panggil teman-teman.” Jawab tikus jalanan itu sambil langsung berlari kencang.
Kucing-kucing anak buah Piki pun semakin dekat dengan Miki. Si  Jackyyang sangat risau terus berlari agar tidak sampai bertemu dengan gerombolan Kucing Pasar. Ia terus berlari hingga sampai di ujung jurang yang sangat dalam.
“Bagaimana ini kalau aku tertangkap?” Gumam si Jacky di dalam hati.
Di lain tempat Miki yang sangat kebingungan dengan nasib temannya berusaha memberanikan diri untuk menemui bos Piki di Markas besar kucing pasar. Dengan tekat yang sudah sangat bulat, ia memantapkan langkahnya untuk memasuki markas yang sudah mencoret namanya dari daftar anggota.
“Permisi bos Piki.” Sapa Miki dengan nada yang sangat lirih.
“Berani-beraninya kamu kesini? Masih besar sekali nyali kamu?” Bentak Bos Piki.
“Tidak, saya ingin meminta keringanan, bos boleh mengusir saya akan tetapi jangan melukai teman saya Jacky, dia sudah sangat baik tidak seperti tikus yang lainya.” Pinta Miki.
“Banyak omong kamu, sekali tikus ya tetap tikus tidak ada sejarah yang mengatakan ada tikus yang baik.” Hardik Bos Piki.
“Tapi boss.”
“Ahh Sudahlah, Pengawal!”
“Iya boss.” Jawab pengawal.
“Seret keluar kucing tak berguna ini.” Perintah Bos Piki.
“Siap Bos.” Jawab pengawal serentak.
“Tapi boss, saya jelaskan duluu” ucap Miki.
Akan tetapi Bos Piki yang terlanjur marah tidak mau lagi mendengar kata-kata yang di ucapkan Miki. Ia tetap pada pendiriannya untuk tidak berteman dengan tikus karena hal ini sudah di lakukan secara turun temurun dari Nenek moyangnya. Tidak ada yang mau damai bahkan berteman dengan tikus.
Si Miki yang kebingunganpun mengingat satu tempat. Dimana dia sering merenung bersama Jacky.
“Pasti dia ada di dekat jurang.” Simpul Miki
Tanpa pikir panjang dia langsung berlari menuju jurang tempat ia biasa berdua bersama Jacky. Ia sering bertukar pikiran membicarakan banyak hal tentang pertemanan dan rencana- rencana mereka untuk mendamaikan kelompok mereka yang selalu bertentangan. Disitulah mereka berdua menggantungkan tinggi-tinggi mimpi mereka. Bersama purnama di antara bintang-bintang berselimut senja bahkan terbakar sinar sang surya sudah mereka lalui bersama.
Si Jacky yang telah sampai dulu di jurang masih was-was, takut bila ia akan tertangkap. Benar saja, tak lama berselang si kucing anak buah Piki sampai juga di ujung jurang.
“Hahaha...akhirnya ketemu juga tikus jalanan ini. Siap-siaplah menjadi tikus pepes, hahaha...” Kata seekor kucing anak buah Piki.
“Tidak, aku bisa jelaskan.” Bela Jacky dengan tubuh yang gemetar.
“Jemput bos Piki, kita habisi saja mereka.” Kata seekor kucing lain.
“Oke, aku saja yang jemput.” Jawab Tomas, yang menjabat sebagai perdana menteri kucing pasar.
Kelompok kucing tersebut membentuk lingkaran untuk mengancam dan juga mematikan pergerakan Jacky. Si Jacky yang sudah terpojok hanya mampu berdoa agar teman temannya segera sampai dan dapat menolongnya. Tak lama kemudian sampailah Bos Piki untuk mengadili tikus malang itu.
“Ternyata ini, tikus yang katannya baik? Dalam sejarah kucing, tidak ada yang namanya tikus baik! Bawa saja ke markas kita adili disana.” Perintah Bos Piki.
Akan tetapi terdengar sebuah lengkingan hebat dari belakang kerumunan kucing.
“Tunggu...aku yang bertanggung jawab.”
Sontak seluruh perhatian tertuju pada sumber suara itu. Ternyata Miki. Dengan berani ia masuk ke dalam lingkaran untuk membela temannya yang sudah dipojokkan oleh komplotan kucing.
“Ternyata kucing ini lagi, masih berani? Hahaha.” Kata bos Piki.
“Maaf sebelumnya, jika Bos mau menghukum Jacky, hukum juga aku karena aku yang salah.” Kata Jacky.
“Kau benar, wahai pengawalku bawa mereka berdua kita berpesta malam ini hahaha.”
Belum selesai tertawa, rombongan tikus datang dengan tiba tiba dengan jumlah yang lumayan luar biasa.
“Kau, kucing berani-beraninya kalian menyakiti bangsa kami awas saja kau!”
Tanpa banyak bicara kelompok tikus menyerang kucing dan pertarungan hebatpun tak dapat di hindarkan sampai pada akhirnya Piki yang terkena pukulan tikus sempat oleng dan terperosok di jurang. Akan tetapi tangan Jacky menggenggam erat tangan Piki yang sudah berkali-kali menghardiknya itu.
Teman-teman Jacky memintanya untuk melepas saja genggaman itu akan tetapi Jacky teringat dengan petuah gurunya seekor semut tua.
“Berbuatlah baik dalam keadaan apapun, sekalipun itu kepada orang yang telah menyakitimu.”
Kata-kata tersebut terngiang-ngiang di kepala Jacky. Akhirnya ia menyelamatkan Piki dengan menariknya keatas. Piki pun sempat terdiam dan bertanya tanya seharusnya tikus kecil itu bisa balas dendam dengan melepas pegangannya akan tetapi kenapa tidak.
Ia berpikir cepat dan dengan wajah yang memerah akhirnya ia berteriak.
“Berhenti... Sudahi saja pertarungan tiada guna ini!”
“Sudah bertahun tahun aku dikenal keras kepal jika berbicara masalah perdamaian dengan tikus. Akan tetapi hari ini, aku tahu bahwa tidak selamanya bernusuhan itu baik. Aku tahu diantara kalian (tikus-tikus) pasti banyak yang tidak suka padaku akan tetapi hari ini detik ini aku ku proklamirkan sesuatu untuk kalian. Dengan ini saya nyatakan perdamaian kepada kelompok tikus dan mengaku bersalah karena merasa memiliki segalanya dan tak mau berbagi.”
Mendengar kata-kata itu, seluruh kelompok merasa kaget dan bertanya-tanya mengapa permusuhan yang telah lama bisa secepat ini selesai.
“Kalian pasti bertanya-tanya, aku bisa bicara seperti ini karena tikus kecil ini. Setelah sekian banyak ancaman dan juga siksaan yang telah ku berikan, ia masih mau untuk menolongku padahal bukan tidak mungkin ia membunuhku. Aku berhutang nyawa padamu nak dan sebagai gantinya bagaimana kalau kita berdamai sudahi saja segala permusuhan yang tak berujung ini?”
Tidak membutuhkan waktu lama untuk kelompok tikus memutuskan jawaban.
“Saya mewakili kelompok tikus menerima dengan besar hati permintaan maaf kalian jika kita semua bersatu pasti kita akan lebih cepat maju.”
Suasana yang sangat panas itu di akhiri senja yang menghangatkan di tambah dengan kehangatan keluarga yang terbentuk buah dari perbuatan baik. Mereka saling berpelukan dan  saling memaafkan. Jacky dan Miki pun mengukir sejarah, mendamaikan kelompok mereka yang bertentangan tanpa berkesudahan. Sekarang mereka bebas bermain dan mencari makan bersama tanpa ransel tanpa sembunyi. Tanpa ada khawatir karena mereka semua sekarang adalah Keluarga.
                                                              

Selesai...